KASUS MYANMAR: Masihkah Pers dan Jurnalisme Relevan?

KASUS MYANMAR: Masihkah Pers dan Jurnalisme Relevan?:
 Linda Tangdialla


Myanmar/Ilustrasi/cnn.com
Myanmar/Ilustrasi/cnn.com

KABAR24.COM, JAKARTA–Kongres Surat Kabar, Periklanan, dan Forum Editor Sedunia (WAN-IFRA) berlangsung pekan ini di Bangkok, Thailand, dengan tema-tema seputar upaya pers menghadapi perubahan dan kiat-kiat untuk memanfaatkan teknologi secara maksimal.
Kemunculan media internet dan kekuatan jurnalisme warga (citizen journalism) telah mendorong inovasi-inovasi baru di dunia jurnalistik dalam satu dasawarsa terakhir ini. Di beberapa bagian dunia terjadi penurunan pembaca media cetak secara drastis, di tengah kebangkitan media internet. Sementara, fakta di Asia berbicara lain: Media cetak masih kuat.
Namun kongres yang dihadiri sekitar 1.000 insan pers dari seluruh dunia itu tak melulu bicara angka dan bisnis. Pada pembukaan konferensi itu, 3 Juni 2013, peserta diajak untuk kembali merenungi fungsi esensial pers sebagai agen perubahan, kebebasan, dan demokrasi, lewat pemberian penghargaan Pena Emas Kebebasan 2013 bagi tokoh pers Myanmar, Dr. Than Htut Aung.
Pemimpin dan pemilik grup Eleven Media ini mengalami masa-masa keras tekanan rezim militer, ikut memperjuangkan kebebasan sosial politik bagi rakyat Myanmar, dan akhirnya menikmati saat kebebasan itu tiba hari-hari ini.
Selama hampir 50 tahun Myanmar berada di bawah  pemerintahan diktator militer. Selama itu pula tak henti-hentinya gelombang protes massa untuk mengakhirinya, menelan korban ribuan orang tewas. Rezim yang terkenal kejam itu menganulir kemenangan partai prodemokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi dalam pemilihan umum 1990 dan mengenakan tahanan rumah kepada perempuan pejuang itu.
Media berada di bawah sensor yang sangat ketat. Tulisan karya jurnalistik yang hendak diterbitkan harus dibaca dulu oleh petugas sensor—orang-orang militer–selama dua sampai lima hari, dan setelah itu baru diketahui bisa diterbitkan atau tidak.
Sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru di Indonesia, kemerdekaan pers dipasung. Media diberangus, wartawan dipenjara.
Semua itu membuat Than dan Eleven Media mencari inovasi untuk menerobos tembok sensor.
Than Htut Aung, jebolan sekolah kedokteran, memulai karir jurnalistiknya dengan mendirikan First Eleven Sports Journal. Sebagai jurnal mingguan tentang olahraga, Than dan awak redaksinya mengemas pesan-pesan politik lewat artikel tentang sepakbola—langkah cerdik, karena orang Myanmar terkenal gila bola.
Dia dan timnya harus kreatif dalam memberikan judul dan menulis agar pesan politik ditangkap oleh masyarakat luas. Salah satu contohnya adalah  artikel dengan judul ini: Wasit Bertindak ‘Tidak Adil.’ Tanda kutip sengaja diberikan pada frasa tidak adil, agar menjadi perhatian pembaca.
Orang menyukai gaya penulisan satir politik-olahraga itu, sehingga jumlah oplag pun meningkat. Namun ada yang tak senang. Siapa lagi kalau bukan penguasa militer. Pada 2003 kantor Eleven Media diduduki militer setelah munculnya rangkaian tulisan tentang pembantaian sipil. Than ditahan, namun tak jera. Ketika Aung San Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah, jurnal sport-nya menurunkan artikel tentang pertandingan sepakbola dengan kata-kata ini di dalamnya: Su bebas, bersatulah dan maju meraih harapan.
 Tentu saja rezim militer meradang, dan koran pun dilarang terbit selama dua minggu.
Perlawanan kuat pers di Myanmar terhadap pemerintahan diktator selama puluhan tahun akhirnya berbuah manis. Saat ini memungkinkan untuk menerbitkan surat kabar harian, website, dan servis SMS untuk menyebarkan informasi.
Apakah dengan demikian perjuangan sudah berakhir? Than Htut Aung bilang dia masih merasa galau karena korupsi di kalangan pemerintah yang makin merajalela. Dia yakin tanpa tindakan tegas untuk mengatasinya, Myanmar akan kembali mundur.
Pers memang telah tumbuh menjadi industri dimana ribuan orang menggantungkan hidup mereka, namun perjalanan hidup Than Htut Aung dan pers di Myanmar serta negara-negara tertindas lainnya menunjukkan bahwa memperjuangkan reformasi, demokrasi, kebebasan, dan perlindungan terhadap hak azasi manusia harus dipertahankan sebagai fungsi utama kehadiran pers.
Hanya dengan kesadaran itulah pers dan jurnalisme dapat tetap bertahan dan relevan di tengah gempuran media sosial yang hingar bingar itu, tekanan pemerintahan otoriter, dan kecenderungan penguasaan media oleh kalangan kapitalis yang mengedepankan keuntungan finansial semata. (Kabar24/lt)

SHARE

Milan Tomic

Hi. I’m Designer of Blog Magic. I’m CEO/Founder of ThemeXpose. I’m Creative Art Director, Web Designer, UI/UX Designer, Interaction Designer, Industrial Designer, Web Developer, Business Enthusiast, StartUp Enthusiast, Speaker, Writer and Photographer. Inspired to make things looks better.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Translate