Dari tahun ke tahun, konsumsi minyak Indonesia terus meningkat, terbukti dengan terlampauinya kuota tiap tahun yang telah ditetapkan dalam APBN. Mengutip situs liputan6.com, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memprediksi konsumsi BBM bersubsidi pada 2013 akan mencapai 49 juta kiloliter (KL), melebihi kuota yang ditetapkan dalam APBN 2013 sebesar 46,01 juta KL.
Berdasarkan data realisasi konsumsi BBM subsidi tiga tahun terakhir, konsumsi BBM pada 2012 mencapai 45 juta kiloliter (KL) atau naik 3,02 juta KL dibandingkan tahun 2011 yang sebesar 41,76 juta KL. Sementara realisasi konsumsi BBM subsidi 2010 sebesar 38,26 juta KL.
Ironis, sebagian dari kebutuhan BBM itu didapat dari impor akibat produksi dalam negeri tidak mencukupi. Turunnya lifting minyak mentah (crude) Indonesia berujung pada impor minyak, baik dalam bentuk crude maupun produk (premium,solar, dsb).
Menurut Rudi Rubiandini (yang waktu itu menjabat Wamen ESDM; Bisnis Indonesia 6 Jan 2013) total konsumsi BBM nasional mencapai 1,4 juta barel ekuivalen per hari. Sedangkan produksi minyak mentah Indonesia hanya berkisar 850 ribu barel per hari, itupun masih dikurangi jatah kontraktor sehingga jatah pemerintah (yang bisa diolah menjadi BBM) tersisa 540 ribu barel per hari. Artinya ada selisih sekitar 900 ribu barel yang mau tidak mau ditutup melalui impor. Setiap harinya, Pertamina mengimpor 200 -300 ribu barel crude dan 400 ribu KL BBM.
Tak heran jika Pemerintah selalu pusing soal BBM ini, karena terus membengkaknya subsidi yang harus dikeluarkan. Terlebih jika harga minyak dunia melejit hingga di atas US$ 100. Tahun 2012 lalu misalnya, realisasi subsidi BBM mencapai Rp 211,9 triliun, jauh melebihi anggaran awal sebesar Rp 137,4 triliun.
Pada akhirnya pemerintah lagi-lagi dihadapkan pada opsi menaikkan harga bahan bakar. Sayangnya, kompensasi kenaikan harga BBM seperti bantuan langsung tunai (BLT) terkadang tidak tepat sasaran dan tidak memberdayakan masyarakat. Sebab yang terjadi hanyalah pengalihan subsidi. Semestinya kelebihan dana dari kenaikan harga BBM itu bisa digunakan untuk sektor lain seperti pendidikan (membangun sekolah), kesehatan (menambah rumah sakit dan paramedis), pertanian, infrastruktur jalan, listrik, dan lain sebagainya.
Mengabaikan faktor teknis, seperti banyaknya kendaraan, kemacetan, kebocoran dalam distribusi dll, yang ikut menyumbang ‘borosnya konsumsi’ BBM, yang lebih penting adalah kesadaran pribadi. Kondisi selama ini mungkin telah membuat kita “senang disubsidi”. Padahal seyogyanya peruntukan BBM bersubsidi untuk golongan kurang mampu. Golongan masyarakat yang lebih mampu harusnya merasa malu jika masih menggunakan BBM bersubsidi.
Selain itu budaya hemat energi hendaknya bukan sekedar slogan tapi nihil dalam prakteknya. Jika saja setiap rumah mau mematikan satu lampu yang tidak perlu, berapa banyak bahan bakar yang bisa dihemat PLN? Berapa besar subsidi yang mampu diselamatkan? ***
Berdasarkan data realisasi konsumsi BBM subsidi tiga tahun terakhir, konsumsi BBM pada 2012 mencapai 45 juta kiloliter (KL) atau naik 3,02 juta KL dibandingkan tahun 2011 yang sebesar 41,76 juta KL. Sementara realisasi konsumsi BBM subsidi 2010 sebesar 38,26 juta KL.
Ironis, sebagian dari kebutuhan BBM itu didapat dari impor akibat produksi dalam negeri tidak mencukupi. Turunnya lifting minyak mentah (crude) Indonesia berujung pada impor minyak, baik dalam bentuk crude maupun produk (premium,solar, dsb).
Menurut Rudi Rubiandini (yang waktu itu menjabat Wamen ESDM; Bisnis Indonesia 6 Jan 2013) total konsumsi BBM nasional mencapai 1,4 juta barel ekuivalen per hari. Sedangkan produksi minyak mentah Indonesia hanya berkisar 850 ribu barel per hari, itupun masih dikurangi jatah kontraktor sehingga jatah pemerintah (yang bisa diolah menjadi BBM) tersisa 540 ribu barel per hari. Artinya ada selisih sekitar 900 ribu barel yang mau tidak mau ditutup melalui impor. Setiap harinya, Pertamina mengimpor 200 -300 ribu barel crude dan 400 ribu KL BBM.
Tak heran jika Pemerintah selalu pusing soal BBM ini, karena terus membengkaknya subsidi yang harus dikeluarkan. Terlebih jika harga minyak dunia melejit hingga di atas US$ 100. Tahun 2012 lalu misalnya, realisasi subsidi BBM mencapai Rp 211,9 triliun, jauh melebihi anggaran awal sebesar Rp 137,4 triliun.
Pada akhirnya pemerintah lagi-lagi dihadapkan pada opsi menaikkan harga bahan bakar. Sayangnya, kompensasi kenaikan harga BBM seperti bantuan langsung tunai (BLT) terkadang tidak tepat sasaran dan tidak memberdayakan masyarakat. Sebab yang terjadi hanyalah pengalihan subsidi. Semestinya kelebihan dana dari kenaikan harga BBM itu bisa digunakan untuk sektor lain seperti pendidikan (membangun sekolah), kesehatan (menambah rumah sakit dan paramedis), pertanian, infrastruktur jalan, listrik, dan lain sebagainya.
Mengabaikan faktor teknis, seperti banyaknya kendaraan, kemacetan, kebocoran dalam distribusi dll, yang ikut menyumbang ‘borosnya konsumsi’ BBM, yang lebih penting adalah kesadaran pribadi. Kondisi selama ini mungkin telah membuat kita “senang disubsidi”. Padahal seyogyanya peruntukan BBM bersubsidi untuk golongan kurang mampu. Golongan masyarakat yang lebih mampu harusnya merasa malu jika masih menggunakan BBM bersubsidi.
Selain itu budaya hemat energi hendaknya bukan sekedar slogan tapi nihil dalam prakteknya. Jika saja setiap rumah mau mematikan satu lampu yang tidak perlu, berapa banyak bahan bakar yang bisa dihemat PLN? Berapa besar subsidi yang mampu diselamatkan? ***
0 komentar:
Posting Komentar