PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN
PENDAHULUAN
Selama
tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah
berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak
53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah
meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578
murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi
dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu
perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan
pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang
sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah
masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara
kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan,
b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa,
antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga
muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan
yang telah disebutkan di atas.
Pertama,
pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan
sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the
dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish
sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai
upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan
pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal
menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan
pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan
pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan
lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu
kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam
perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya
harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
Pembangunan
merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan
masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan
utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses
pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.
John
C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict
Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a)
memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan
tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan
sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama
merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi
ekonomi.
Berkaitan
dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang
menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan:
Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat
bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai
cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut
pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan
merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan
keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses
pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan
formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut
muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi
dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return
yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.
Sejalan
dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan
dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi
yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c)
secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya
warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat
secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini,
pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu
bangsa menginginkan kemajuan.
ParadigmaFungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia
pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma
pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin
reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang
yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns
melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan
linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung.
Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan
kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti,
kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan
rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk
menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking,
rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.
Paradigma
pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses
produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru,
kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input.
Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan
proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan
paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan
sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial,
bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh
dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang
mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai
dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat
pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan
bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua,
para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of
growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka
pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation,
yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya,
maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem
persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain,
khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu
perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan
ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal
inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai
teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis
kemampuan akan dilatih.
Sesuai
dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi
perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single
track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk
kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan
akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam
struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh
dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Namun,
pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak
bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat
tulisannya berjudul Education versus Qualifications
menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi,
dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya
kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai
problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan
pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak
mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic).
Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh
harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam
pembangunan.
Penjelasan
paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu
kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis.
Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti
bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan
individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan
mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi
yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang
diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru
melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia
industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan
jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua,
paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai
penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan
formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang.
Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih
dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya,
tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi
dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine
of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan
tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan
ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok
masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga,
paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan
individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga
kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak
pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering.
Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu
menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di
negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
Keempat,
paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran
mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana
pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan
produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan
ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential
Society: An Historicaf Sosiology of Education
and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti
tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi
tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan
pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian
yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja
formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga
pendidikan yang lebih canggih.
Pembaharuan
pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan
pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas
masyarakat dan kultur bangsa sendiri.
Paradigma
peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional,
sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas.
Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat
interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi
semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth,
sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait
dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan
ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi
bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi
tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik
jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan
perubahan ekonomi dan masyarakat.
Paradigma
peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif,
melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin
ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan
bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki
makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan
bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain
berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam
suatu kesempatan berikutnya.
Paradigma
pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem
persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih
menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching),
2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan
memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus
dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma
pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks.
Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses
pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya.
Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya
ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan
prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia
kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat
double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan
umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat
kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.
Dengan
double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan
lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi
untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah
dengan cepat.
Berbagai
problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas
pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja
merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita.
Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar
filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat
sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan
diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses
pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta
berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.
Buku
ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori,
dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika
Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman"
dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini
ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub:
Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan
yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang.
Tulisan
kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi
orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya
akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus
merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam
mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi,
diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi
akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari
kepercayaan yang mereka peroleh.
Sudah
barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah
diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar
mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan,
sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja
merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5,
memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.
Pada
Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari
karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan
dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan
yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang
tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata
tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada
bab ini antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada
kemauan dan usaha para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan
diberi berbagai arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar
profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan
guru diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting
karena guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard
profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan
dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat
kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang
tantangan guru pada era globalisasi yang
kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial,
dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut.
Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai
perubahan.
Bab
3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai
dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di
masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem
pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan
pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian
pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak
berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan
realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada
budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan
perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan
yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang
mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan
pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru
dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal
yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi
persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa
depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah
mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru
pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang
bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa
kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia
kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan
ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang,
ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi
keluarga. Secara konkret
pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan
tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat
mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya
ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai
penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab
ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta
peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya
dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas
tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan
bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.
3.8. Reformasi
pendidikan: dari fondasi ke aksi
BAB I
WACANA SEPUTAR PENDIDIKAN
BAB II
PROBLEMATIKA SEPUTAR GURU
BAB III
PRADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN
0 komentar:
Posting Komentar