Sejarah J-League: Dominasi Verdy Kawasaki Di Tahun-Tahun Awal

2.   Dalam edisi kedua dari lima bagian seri sejarah J-League, Goal melihat ke belakang pada kesuksesan Verdy dan datangnya legenda Brasil, Zico, sebagai katalis untuk perkembangan.


Tiga klub lain berasal dari kota besar industri di pantai pasifik, yaitu Nagoya Grampus Eight, Gamba Osaka, dan Sanfrecce Hiroshima.

Klub paling populer, tidak diragukan lagi adalah Verdy Kawasaki. Banyak pemain mereka, seperti Kazuyoshi Miura, Nobuhiro Takeda, dan Tsuyoshi Kitazawa, memiliki citra sebagai "rock star" yang membedakan J-League dari kebanyakan pemain baseball, olahraga paling populer di Jepang.

Musim pertama berstruktur dua kejuaraan, masing-masing menerapkan sisem round-robin, di mana tim akan bermain kandang dan tandang, untuk total 36 pertandingan setiap klub. Pemenang kejuaraan musim semi dan pemenang musim gugur akan bertemu di final, yang juga digelar dua kali, untuk menentukan juara sejati musim itu.

Sistem yang tidak biasa itu memberikan beberapa keuntungan, pertama, menjamin final menarik yang mirip dengan sistem baseball Jepang dengan Nippon Series mereka, sebuah model kompetisi yang paling dikenal oleh kebanyakan penggemar olahraga di Jepang.

Terlebih lagi, sistem dua kejuaraan akan membuat tensi tetap tinggi hingga akhir musim karena setelah kejuaraan pertama, klasemen akan jadi diulang dan persaingan merebut spot untuk final dimulai dari nol.

Sistem dua kejuaraan dan pertandingan final digunakan dari tauhn 1993 hingga 2004, dengan pengecualian tahun 1996, yang akan dijelaskan lebih lanjut di edisi berikutnya.

Hal lain yang menarik pada sepakbola Jepang saat itu adalah sebuah pertandingan harus berakhir dengan pemenang. Harus. Di sebuah negara dengan tradisi kuat bela diri, pertarungan diharapkan diakhiri dengan pemenang dan pecundang yang jelas.

Karena itu, kapan pun pertandingan imbang selama 90 menit, tim akan bermain dua kali 15 menit babak tambahan, hingga sebuah gol kemenangan atau "V-goal" tercipta. Jika kedua tim tetap imbang setelah bermain dua jam, duel akan diakhiri dengan penalti.

Tidak masalah jika 28 tendangan penalti sekaligus dibutuhkan untuk mencari pemenang, seperti yang terjadi saat pertandingan antara Nagoya Grampus Eight dan Urawa Reds pada Maret 1995, salah satu tim harus menang!

Pada 1993, J-League mendapatkan izin dari FIFA untuk mendaftar tim di klasemen menurut jumlah kemenangan, karena tidak ada poin yang dihitung. Kemenangan 5-0 dalam 90 menit, atau 1-0 di penalti, tidak membuat perbedaan.

Dan berbicara kemenangan, Antlers dan Verdy, masing-masing berhasil memenangi dua kejuaraan pada 1993 dan berhak melaju ke final yang dimainkan di National Stadium, Tokyo pada Januari 1994.

Pertandingan pertama didesain sebagai laga kandang Antlers, tetapi Verdy sukses memetik kemenangan 2-0. Miura mencetak gol pertama di menit ke-60, dan pemain asal Brasil Bismark mencetak gol melalui tandukan memanfaatkan tendangan penjuru beberapa detik sebelum waktu normal habis.



Pertandingan kedua, setidaknya di media, hanya sebuah formalitas untuk Verdy, tetapi Antlers tidak sepakat. Tim kuda hitam yang dipimpin oleh legenda Brasil, Arthur Coimbra Zico, yang absen di laga final pertama, masuk dalam daftar starter. Sementara banyak pemain Verdy yang mengatakan menghadapi sosok juara asal Brasil adalah sebuah kehormatan dan memberi motivasi, Zico yang saat itu berusia 40 tahun, masih menjadi pemain yang di atas rata-rata untuk J-League.

Pada menit ke-38, rekan setimnya, Alcindo, mencetak gol melalui tendangan voli dan kembali memanaskan persaingan. Klimaksnya terjadi di babak kedua. Penalti kontroversial diberikan setelah pemain Verdy asal Brasil, Paulo, terjatuh karena sedikit sentuhan. Kali ini "King Kazu" mencetak gol dan tampak menyegel kemenangan. Bagaimanapun juga, apa yang terjadi sebelum bola ditendang yang masuk ke dalam sejarah.

Saat Miura siap melakukan tendangan penentu, Zico, yang masih marah dengan keputusan wasit, berjalan ke titik putih, dan tanpa basa-basi meludahi bola. Usai kekacauan di atas lapangan, Zico mendapatkan kartu kuning kedua dan dipaksa keluar dari lapangan.

Terlepas dari insiden itu, itu adalah waktu di mana Verdy Kawasaki merayakan gelar juara pertama mereka. Pada November, mereka juga memenangkan gelar Piala Liga kedua, yang sekarang disponsori oleh Nabisco. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kompetisi tertua J-League digunakan sebagai percobaan untuk menggelar J-League pada 1992, dan dimenangkan oleh Verdy.

Kazu meraih penghargaan sebagai MVP musim itu, tetapi dia bukan top skor. Dia mencetak total 20 gol, tertinggal delapan gol dari Ramon Diaz. Pada tahun pertama, rata-rata penonton liga sekitar 18 ribu setiap pertandingan dan total lebih dari 3,2 juta suporter yang menyaksikan pertandingan.

Dominasi Verdy terus belanjut pada 1994, ketika mereka kembali sukses di kejuaraan kedua, dan mengalahkan Sanfrecce Hiroshima di final. Pada tahun berikutnya, 1995, kebangkitan Marinos mematahkan dominasi Verdy dan mengalahkan mereka di final, untuk mengklaim gelar pertama Yokohama. Sayangnya, awan hitam tengah mengintip Verdy dan juga J-League.
SHARE

Milan Tomic

Hi. I’m Designer of Blog Magic. I’m CEO/Founder of ThemeXpose. I’m Creative Art Director, Web Designer, UI/UX Designer, Interaction Designer, Industrial Designer, Web Developer, Business Enthusiast, StartUp Enthusiast, Speaker, Writer and Photographer. Inspired to make things looks better.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Translate