KENDURI CINTA APRIL 2013: Tiga Catatan Cak Nun

KENDURI CINTA APRIL 2013: Tiga Catatan Cak Nun:
Jazz 7 Langit

CAK NUN memberikan tiga catatan untuk melegitimasi :
1. Di dalam ayat-ayat Tuhan selalu disebut bahwa ‘yang terdengar’ didahulukan daripada ‘yang terlihat’. Lebih penting yang didengar daripada yang dilihat. Sami’un dulu baru bashirun. Ini juga tanda yang luar biasa. Kalau para teknolog, manajer sosial, pemimpin-pemimpin negara, punya apresiasi musik seperti John F. Kennedy, misalnya, termasuk sastra dan sebagainya, mereka akan mendapat penemuan-penemuan manajemen yang juga luar biasa.

2. Yang kita nikmati sekarang, sampe dunia IT, kan para jazzer yang berjasa. Mereka orang yang melakukan pekerjaan jazz di berbagai bidang. Pekerjaan jazz adalah pekerjaan luar biasa, dan pemusik Jazz ini adalah pemberi ingatan kepada seluruh laku kebudayaan, teknologi, dan kenegaraan. Kalau tidak ada jazz, kita tidak ingat bahwa kita kreatif. Jadi saya ingin mengangkat Beben menjadi anggota Majelis Ulama. Kenapa Majelis Ulama? Majelis Ulama itu sekarang hanya diisi oleh ahli fikih, padahal kehidupan itu begitu luasnya, harus ada ahli pertanian, ahli musik, ahil teknologi, ahli IT. Harusnya Majelis Ulama berisi semua ‘alim; yang banyak disebut ulama. Karena ‘ulama’ maka dibutuhkan dari berbagai bidang yang mengurusi kekhalifahan manusia, karena Allah menyuruh kita menjadi khalifah. Sekarang yang terjadi adalah sekularisme, di mana yang disebut agama adalah ibadah mahdloh saja. Sementara pasar tidak dihubungkan dengan agama. Musik disebut antiagama, Kiai Kanjeng disebut musik gombal, bid’ah dan selanjutnya. Kita terima kasih kepada Beben. Saya kira tidak kebetulan Anda di KC. Sekarang Anda sudah Kiai-nya KC, bukan musisi jazz KC. Yang namanya Kiai itu kalau di Jawa Tengah namanya ‘hajar’/’ajar’. Ki Hajar Dewantara. Orang yang sudah melampaui yang lainnya sehingga dia selalu dijadikan wacana oleh masyarakat.

3. Bahwa jazz yang dilakukan oleh Beben adalah jazz di wilayah pengolahan musik dan kesenian. Sementara yang dilakukan Kiai Kanjeng adalah di wilayah kebudayaan. Yang dilakukan Kiai Kanjeng bukan eksplorasi nada dan musikal tapi eksplorasi kebudayaan, bagaimana orang dari berbagai wilayah di dunia ini bisa berjumpa, menjadi satu aransemen, satu komposisi, melalui inovasi-inovasinya Nevi. Mungkin beberapa temen belum tahu bahwa gamelan KK ini bukan gamelan Jawa. Ini gamelan Nevi Budiyanto, guru seni rupa SMP. Nevi ini mencoba bikin komposisi.

“Ini upaya jazzing kultural, bukan jazzing musikal, sehingga bisa di mana-mana. Bisa di Italy, Mesir, Scotland, dan lain-lain. Ini pragmatis saja sebetulnya, tidak terlalu inovatif. Tapi Nevi mencari peluang-peluang di antara 7-7 tadi. Gimana itu Nev, asal-usulnya kamu susun struktur nada ini?”

“Ini struktur nadanya bukan pelog slendro tapi solmisasi,” jawab Pak Nevi, “Berawal dari nada dasar Do=G. Kemudian oleh temen-temen diadakan inovasi untuk tidak hanya bisa digunakan untuuk Do=G; tapi bisa pula menggunakan Do=C. Ada semacam wilayah-wilayah seperti ini yang bisa dipasangkan.”

“Untuk apa?”

“Supaya jangkauan nada yang ada di gamelan ini bisa dipakai untuk lebih kaya lagi.”

“Jadi upayanya kebudayaan, bukan musikal meskipun alatnya musik. Jadi misalnya Beethoven Symphoni 9. Ini bagaimana untuk bisa Arab segala macam? Untuk Jawa juga bisa?”

“Untuk Jawa bisa. Pelog bisa, slendro bisa. Sebenarnya ini upaya sederhana saja. Artinya bukan berawal dari bahwa saya ini ahli musik, terus ijtihad yang muluk-muluk. Wong saya ini bukan orang musik, mung senang dengan seni musik.”

“Jadi Nevi ini kan yang menang di mana-mana di luar negeri kan terkenal gamelannya. Kalau Umi Kultsum dimainkan dengan gamelan kan pingsan orang Mesir. Dan pemimpin orkestra Mesir, Yasser Muawwad, mencoba nuthuk ini tapi nggak bisa.”

“Orang berdzikir dalam suatu thariqah bahwa hidup itu penuh kemungkinan, kamu harus mengeksplorasi. Beben mengatakan bahwa kalau tidak ada budak-budak dari Swahili, musik Amerika ya country doank. Begitu orang Afrika datang, musik dunia seperti sekarang.”

“Nevi mungkin tidak punya jangkauan seperti itu, tapi ia bisa menyapa orang Italy, Belanda, Mesir, dan lain-lain. Dan ini belum pakai Zainul waktu di Mesir. Kalau pakai Zainul saya kira akan lebih dahsyat lagi. Padahal ya cuma gini ini. Dan Nevi memang tidak pernah merasa berinovasi karena Nevi itu saya kira orang yang sangat rendah hati sampai dia nanti untuk masuk surga pun agak nggak enak lah. Dia kalau mau diwawancara wartawan lari masuk ke kamar mandi.”

“Saya kalau bisa alat musik ya bakal sering ketemu Beben. Kalau saya bisa main gitar, saya pasti pilih jazz. Tapi sudah latihan, tetep nggak bisa. Memang Allah tidak mengijinkan saya untuk main gitar. Tapi ra iso nggitar wae wis dadi pemusik. Saya di Italy diminta untuk mimpin orkestra. Dan setelah pementasan di Roma ketika meninggalnya Paus Yohanes Paulus II, mereka memanggil saya Maestro. Mereka pikir saya ngerti not balok, bisa piano, dan lain-lain.”

“Katanya, ‘Bener-bener kami ingin Mr. Emha suatu saat bisa datang ke sini untuk memimpin orkestra’. Modar!”

Tapi saya lalu tanya ke Jijit, dan menurut dia saya memang maestro, “Maestro itu nggak harus bisa main, tapi bisa mengerti persis apa yang harus dimainkan. Dia yang mengatur, dia yang bisa merasakan, dia yang mengaransir. Kalau mengaransir saya bisa. Saya bikin lagu cukup banyak. Tapi lagune yo ngono-ngono kuwi lah. Pas dibutuhkan, bisa. Wiridan saya kan Allahuma tuhno, allahuma tekno. Kalau pas butuh ono, pas entek ono. Karang yo kere.”

Kemudian Cak Nun meminta Kiai Kanjeng, terutama Pak Nevi, Mas Bayu, berkolaborasi dengan Mbak Inna dan Mbak Via untuk menyanyikan lagu entah apa tanpa rundingan, semata-mata mengandalkan spontanitas.

“Lho Nev kamu jangan kehilangan spontanitas. Yang membuat Kiai Kanjeng 20 tahun lebih bisa survive itu karena ada Nevi. Karena Nevi tidak bisa menjaga diri, tidak bisa menjaga tangannya. Kalau sudah main, mabuk. Nevi ini menurut saya jazzer. Sehingga ketika rekaman batal semua. Setelah dicek ada bunyi ck-ck-ck. Waktu itu belum pakai digital. Di Pluit waktu itu. Akhirnya kita cari lakban biar dia nggak mengeluarkan suara-suara ck-ck-ck tadi.”

“Yang paling tinggi dalam kehidupan adalah kebaikan yang memproduksi kegembiraan bersama. tidak ada gunanya kebaikan dan kebenaran kalau hasilnya bukan kegembiraan bersama. tidak boleh kegembiraan sendiri, tapi bersama. Itulah gunanya jazz.”

Sebelum memainkan dua lagu terakhir, Mas Beben menyatakan, “Tapi bener bahwa Cak Nun ini maestro. Banyak di dunia ini yang kita pikir ngerti musik, tapi nggak bisa baca not juga. Contohnya Yanni, Pavarotti.”

Dua lagu terakhir itu adalah Give Me One Reason dan Route 66.



Menempuh Kemerdekaan Menuju Batasan

“Apakah tadi selama Anda asyik dengan musik, Anda lupa pada Tuhan? Jadi selama ini orang salah dengan konsep tentang kekhusyukan. Dipikirnya khusyuk adalah Anda sholat, inget Tuhan thok nggak inget dunia. Terus apa gunanya Anda menjadi khalifah di dunia kalau Anda bertamu ke Tuhan dunia tidak Anda bawa?”

“Waktu makan inget Tuhan nggak? Waktu jualan di pasar apa ingat Tuhan? Itu bukan berarti Anda tidak inget Tuhan. Yang penting Anda membawa kesadaran itu ke mana-mana.”

“Jazz adalah sikap dan perilaku merdeka terhadap kehidupan. Kemerdekaan yang bisa membuat Anda menembus-nembus, menemukan wilayah-wilayah yang sebelumnya belum ditemukan. Dari wilayah estetika sampai teknologi sampai spiritualitas. Pertanyaan saya, kemerdekaan itu jalan atau tujuan?”

“Jadi Anda menempuh kemerdekaan itu untuk menemukan batasan Anda. Anda akan berteduh, ilaihi rojiun, ilaina turjaun. Jadi bukan kemerdekaan sebagai ideologi, melainkan sebagai metodologi. Ideologinya adalah menemukan batasan-batasan Anda, sebab begitu melewati batas, Anda akan fals. Kurang batesnya, fals juga.”

“Ini semua yang Anda alami dari jam 9 malam sampai jam 3 pagi ini menjauhkan Anda dari Tuhan atau mendekatkan Anda kepada Tuhan? Sebenarnya kunci hidup itu cuma satu – mau main musik, mau dagang, mau jadi presiden – itu produknya menjauhkan dari Tuhan atau mendekatkan Anda kepada Tuhan? Kalau mendekatkan, bagus, beres. Parameternya cuma itu thok.”

“Untuk itu, kita sekarang sudah sampai pada batas. Kita tidak pulang dengan kemerdekaan-kemerdekaan. Kita pulang dengan permenungan-permenungan tentang keterbatasan masing-masing. Kita sudah eksplorasi segala sesuatu, tapi masing-masing punya batasan. Kalau cocoknya kepala gudang ya nggak usah jadi direktur.”

“Perjalanan kita ini cembung ya, kita awali sampai memuncak ke kemerdekaan, kemudian menurun lagi ke sublimasi. Saya ‘menipu’ Anda dengan jusul ini ya – insyaAllah dalam arti baik. Saya mengatakan ‘Jazz 7 Langit’, bukan ‘Musik Jazz 7 Langit’. Artinya, kita memperluas diri, bukan hanya di bidang musik tapi juga pemahaman-pemahaman dan pengembaraan-pengembaraan pemikiran, praktis di wilayah yang lebih luas.”

“Saya kira Mas Beben dan teman-teman jazz se-Indonesia susah mengadakan acara festival jazz yang melebar-lebar seperti ini. Tapi perlu Anda ketahui bahwa kamu semua yang tidak disebut sebagai orang jazz ini sesungguhnya bukan sekadar pecinta jazz, tapi juga pelaku-pelaku jazz di wilayah yang mungkin berbeda. Produknya juga berbeda dengan Anda, tapi kami melakukan watak yang sama, karakter yang sama, yaitu ijtihad.”

“Tentang angka 7, Tuhan dramatis saja seolah-olah 7 penting. Padahal 9 ya penting, 11 ya penting, 17 ya penting. Semua penting. Misal kalau bapak kita meninggal, kita mengadakan 7 harian. Saya ditanya apakah boleh atau tidak mengadakan 7 harian. Saya jawab, jangankan 7 harian, tiap hari juga boleh tahlilan, asal jangan kemudian diniati sebagai ibadah mahdloh.”

“Sekarang saya tanya kepada Zainul, dalam eksporasi dunia qiro’ah itu kenapa ada 7?”

“Di dalam dunia tilawatil Quran,” jawab Mas Zainul, “ada 7 nama lagu. Ada bayati, hijaz, shoba, ros, jiharkah, syika, dan nahawan.”

Lantas Mas Zainul memberikan contoh untuk masing-masing nama lagu tersebut, bagaimana pembacaannya.

“Pernahkah ada forum di dunia di mana 7-nya Mas Beben, 7 modes tadi, di dalam satu pemahaman qiro’ah sab’ah selain di Kenduri Cinta? Ya Allah, dunia menjadi bagian dari akhirat. Selama ini kan akhirat jadi sampingannya dunia.”

“Anda tidak bisa menyatu dengan Allah tanpa terlebih dahuu menyatu dengan makhluk-makhluk Allah. Jazz di benua tertentu, qiro’ah di benua lain, malam ini dipertemukan oleh Allah, disaksikan oleh Sunan Drajat. Sunan Kalijaga keliling-keliling.”

Lalu Cak Nun meminta Mas Zainul untuk menyanyikan Alif Lam Mim – mengulangi yang dilakukan bulan kemarin – dalam lagu yang paling disukai oleh Mas Zainul, yakni syika.

“Sekarang kita kembali ke batasan yang lebih dasar lagi.”

Selepas Mas Zainul dan Cak Nun selesai, Mbak Inna mengungkapkan kesannya, “Aku nemuin ada yang staccato. Tadi aku coba main-mainin nadanya Mas Zainul di heartbeat, itu bisa jadi funk. Berarti Mas bernyanyi dengan kata-kata Allah, saya bernyanyi jazz, tapi ilmunya sama. Saya shock. Tiba-tiba kalau diritmikin, ada yang tiga perempat, ada yang empat perempat, ada yang nggak tahu berapa per berapa. Ketika saya nyanyi saya bisa menjaga ritmik karena ada musik sehingga saya tidak kegok. Kalau musik nggak ada saya disuruh improve sendiri saya bingung. Mas Zainul lancar banget, tidak meleset sedikitpun. Berarti sepertinya saya harus belajar qiroah. Guru Beben bilang ke saya, kamu bukan belajar ilmu musik, sejarah musik. Hari ini juga terbukti. Gila, orang nggak ada musiknya, bisa bikin tempo sendiri. Anda semua beruntung sekali kalau Anda ngerti.”

Mas Dony dan Mas Imam membawakan lagu Ning Ndonya Piro Suwene yang dipadu dengan Changes-nya Black Sabbath.

“Allah mengubah hidup Anda karena Anda sudah mengubah hidup Anda juga. Anda sudah mengubah, mematangkan cara berpikir dan cara bersikap Anda. Anda akan menjadi utusan-utusan Allah yang diberi fasilitas oleh Allah selengkap-lengkapnya. Jaminan kepada keluarga Anda, jaminan kepada masa depan Anda, anak-cucu Anda, karena Anda sudah mengubah diri Anda melalui KC. Mari menyerahkan seluruh dunia yang kita urus kepada Allah, semoga Allah menilainya dengan kebaikan dan membalasnya dengan kemuliaan, dan barokah bagi Anda semua.”

Kiai Kanjeng memuncaki dengan ‘Alimul Ghoibi, dilanjutkan dengan doa bersama dipimpin oleh Ustadz Nursamad Kamba. [Red KC/Ratri Dian Ariani , Dok Foto: Agus Setiawan]

Sumber : kenduricinta.com
SHARE

Milan Tomic

Hi. I’m Designer of Blog Magic. I’m CEO/Founder of ThemeXpose. I’m Creative Art Director, Web Designer, UI/UX Designer, Interaction Designer, Industrial Designer, Web Developer, Business Enthusiast, StartUp Enthusiast, Speaker, Writer and Photographer. Inspired to make things looks better.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Translate