Tradisi "Maasiri Rumah Sigit" di Pulau Haruku, Maluku Utara
Sepekan ini
warga Negeri Rohomoni, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah menggelar
tradisi adat tahunan “Maasiri Rumah Sigit”, yakni mengganti atap Masjid
tua Uli Hatuhaha secara bergotong royong. Hingga Kamis (22/5/2014)
ribuan warga Negeri Rohomoni bergotong royong mengganti atap masjid tua
itu, yang dibangun pada abad 16 Masehi.
Masjid ini dibangun dengan konstruksi kayu tanpa menggunakan paku.
Kayu-kayu bangunannya disusun dan pada setiap sambungan hanya diikat
dengan menggunakan “gemutu” (ijuk pohon aren). Sedangkan atapnya
terbuat dari anyaman daun sagu yang disusun dengan tingkat kerapatan dan
jarak tertentu agar tahan lama. Serat ijuk diselipkan untuk menghindarkan kebocoran.
Masjid tertua di Pulau Haruku tersebut merupakan tempat ibadah pertama yang dibangun oleh leluhur dari lima Negeri,
yakni Rohomoni, Kabar, Kailolo, Pelauw dan Hulaliu. Prosesi pergantian
atap masjid tua itu berlangsung selama empat hari sejak Senin (19/5).
Tradisi sisih atap (mengganti atap) yang dilakukan setahun sekali tersebut diawali prosesi doa
dan ritual adat oleh para pemangku adat. Tidak sembarang orang
diperbolehkan naik ke atap masjid untuk memotong atap yang rusak. Hanya
seorang tokoh adat dituakan, ditunjuk sebagai orang pertama yang bisa
naik ke atas atap Masjid. Setelah si tokoh adat memanjatkan doa barulah
memotong atap pertama.
Setelah itu barulah warga beramai-ramai naik untuk membongkar atap
yang rusak, kemudian bergotong royong menggantinya dengan atap yang baru
dibuat. Para pemuda berbondong-bondong naik ke atas untuk memasang
atap, sedangkan anak-anak dan remaja bertugas mengangkat daun atap yang
rusak dari areal sekitar masjid untuk dibuang.
Sedangkan orang tua, bertugas menganyam daun sagu untuk dijadikan
atap. Daun sagu ini ditebang dari hutan atau dusun terdekat sepekan
sebelumnya.
Kaum perempuan dan
ibu-ibu bertugas menyediakan “halapinya” atau disebut nasi piring, yakni
berbagai jenis makanan baik berupa hasil kebun, sayuran, buah-buahan,
ikan dan daging maupun kue-kue yang telah dimasak untuk disantap secara
bersama-sama oleh laki-laki dan anak-anak yang telah bergotong royong
dalam prosesi adat tersebut.
Berbagai jenis makanan itu disajikan di atas tikar yang digelar di rumah atau Soa tertentu, di mana para lelaki dan anak-anak makan bersama-sama di sana.
Tanggung renteng.
Penggantian atap masjid ini dilakukan secara tanggung renteng. Sesuai
ketentuan adat yang dikeluarkan tokoh adat atau Raja, setiap pria dan
wanita dewasa diwajibkan menanggung lima “bengkawang” atau lembar atap,
tiga diantaranya berukuran panjang dan dua berukuran pendek.
Budaya ini sudah berlangsung lama, dan dimaksudkan agar tidak memberatkan. Setiap warga ikut memikul beban kebutuhan ritual
adat tersebut secara bersama-sama. Warga Negeri Rohomoni yang merantau
juga ikut menyumbang atap (sesuai ketentuan) untuk keperluan ritual adat
tersebut, sebagai bentuk tanggung jawab dan kecintaan untuk membangun
negerinya.
“Kewajiban menanggung atap, sudah membudaya di kalangan warga yang
tinggal di kampung maupun telah merantau bertahun-tahun. Budaya ini
berlangsung setiap tahun,” kata Raja Negeri Rohomoni, Moh Jusuf
Sangadji.
Setidaknya 10.000 hingga 15.000 bengkawang atap dihabiskan dalam
prosesi adat yang berlangsung setiap menjelang bulan suci Ramadhan ini.
Atap yang terkumpul itu juga digunakan untuk mengganti atap Baileo
(rumah adat), masjid kecil serta “sabuah Negeri” atau tempat pertemuan
warga.
Sumber: suara.com
0 komentar:
Posting Komentar