PROFESIONALISME GURU DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH

Profesionalisme Guru Dan Peningkatan Mutu Pendidikan Di Era Otonomi Daerah
 Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S.
 Makalah:
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan
Dewan Pendidikan Kabupaten
Wonogiri, 23 Juli 2005


PENDAHULUAN
Tuntutan terhadap lulusan dan layanan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan asing membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga penyelenggara pendidikan dan pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan kecuali hanya mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik dan layanan lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan.
Dalam tulisan ini dibahas tentang paradigma baru dalam pendidikan, apa dan mengapa mutu, etos kerja dan profesionalisme guru serta tantangan dunia pendidikan terkait dengan perkembangan teknologi informasi dan otonomi daerah/desentralisasi pendidikan.
PARADIGMA BARU
Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, dikenal dengan paradigma baru manajemen  pendidikan  yang  difokuskan  pada  otonomi,  akuntabilitas,  akreditasi  dan evaluasi. Keempat pilar manajemen ini diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu (Wirakartakusumah, 1998).
1.   Mutu
Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa   yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses dan
hasil belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan.
Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk atau hasil dan jasa tersebut.
2.   Otonomi
Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan pengertian dan implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat dimengerti  sebagai bentuk pendelegasian kewenangan seperti dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/staf non akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya,   paling tidak bahwa guru/pengajar semestinya diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di kelas, dan tak sekedar sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya.
3.   Akuntabilitas
Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi (keterbukaan) dari semua fihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdayanya.
4.   Akreditasi
Akreditasi merupakan suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi tentang pengembangan mutu lembaga pendidikan tersebut. Hasil akreditasi tersebut perlu diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang bersangkutan   dalam   menghasilkan   produk   atau  jasa   yang  bermutu.   Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu badan independen yang berwenang. Di Indonesia pelaksanaan akreditasi pendidikan untuk Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) dan sekolah-sekolah menengah ke bawah oleh Badan Akreditasi Sekolah (BAS).
5.   Evaluasi
Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan  atau  unit  kerja  yang  dievaluasi,  kemudian  menggunakan  hasil  evaluasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara internal atau eksternal. Suatu evaluasi akan lebih bermanfaat bila dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu evaluasi terpenting dalam pendidikan adalah evaluasi diri (self evaluation) yang dilakukan bertahap dan terus menerus atas seluruh komponen- komponen pendidikan.
APA DAN MENGAPA MUTU
Mutu adalah sifat dari benda dan jasa. Setiap orang  selalu mengharapkan  bahkan menuntut  mutu  dari  orang  lain,  sebaliknya  orang  lain  juga  selalu  mengharapkan  dan menuntut mutu dari diri kita. Ini artinya, mutu bukanlah sesuatu yang baru, karena mutu adalah naluri manusia. Benda dan jasa sebagai produk dituntut mutunya, sehingga orang lain yang menggunakan puas karenanya. Dengan demikian, mutu adalah paduan sifat-sifat dari barang   atau   jasa,   yang   menunjukkan   kemampuannya   dalam   memenuhi   kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat.
Benda dan jasa sebagai hasil kegiatan manusia yang secara sadar   dilakukannya disebut “kinerja”.   Kinerja itulah yang dituntut mutunya, sehingga muncul istilah “mutu kinerja manusia”. Suatu kinerja disebut bermutu jika dapat menemuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggannya.  Oleh karena itu, maka suatu produk atau jasa sebagai kinerja harus dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya.
Dalam pembicaraan tentang mutu, terdapat unsur-unsur yang terkait, yaitu:  produk dan jasa, penghasil produk/jasa,   pelanggan, kebutuhan dan harapan, produk/jasa yang bermutu dan kepuasan.
Produk dan jasa  adalah  hasil yang diproduksi karena ada yang memerlukan.  Orang yang membuat produk atau jasa disebut penghasil produk/jasa, sedangkan orang yang memerlukan produk/jasa itu disebut pelanggan. Adapun kebutuhan dan harapan   adalah cerminan dari apa saja yang diharapkan atau dibutuhkan oleh pelanggan dari pihak penghasil produk/jasa. Adanya produk/jasa yang disebut bermutu  bila dapat memenuhi atau bahkan melebihi  dari  sekedar  kebutuhan  dan  harapan  pelanggan/  penggunanya,  yang  ditandai dengan kepuasan.
Ciri-ciri mutu (sebagai bentuk pelayanan pelanggan)  ditandai dengan: (1) ketepatan waktu   pelayanan,   (2)   akurasi   pelayanan,   (3)   kesopanan   dan   keramahan   (unsur menyenangkan   pelanggan),   (4)   bertanggung   jawab   atas   segala   keluhan   (complain) pelanggan, (5) kelengkapan pelayanan, (6) kemudahan mendapatkan pelayanan, (7) variasi layanan, (8) pelayanan pribadi,  (9) kenyamanan, (10) dan ketersediaan atribut pendukung (Slamet, 1999).
Setiap produk/jasa yang bermutu memberikan pelayanan tepat waktu seperti yang disepakati dengan pelanggan. Kemoloran atau tertundanya waktu dari yang telah disepakati menjadi cacat mutu karena cidera janji.
Akurasi pelayanan atau ketepatan produk/jasa seperti yang diminta atau dipesan oleh pelanggan juga merupakan salah satu dari    ciri mutu pelayanan. Kesalahan atau kemelencengan dari apa yang dipesan, menyebabkan produk/jasa tersebut tidak bermanfaat bahkan mendatangkan kerugian bagi pelanggan.  Untuk itu menjadi penting   melakukan proses pendefisian kebutuhan pelanggan sebelum proses produksi/layanan dilakuan.
Setiap pelayanan yang bermutu harus menyenangkan pelanggan, sehingga kesopanan dan keramah-tamahan dalam berkomunikasi dengan pelanggan menjadi unsur penting untuk menjaga mutu. Ungkapan sehari-hari dalam dunia bisnis: “pembeli adalah raja” maksudnya adalah berusaha menyenangkan pembeli agar kembali lagi untuk membeli di kesempatan lain.
Setiap penghasil produk/jasa harus berani bertanggung jawab atas segala yang telah diperbuatnya, ia harus mempertanggung jawabkan  atas segala resiko yang diakibatkan oleh pekerjaan itu.   Semua   yang menjadi keluhan (complain) pelanggan harus dipertanggung jawabkan, jika produk tidak sesuai dengan yang dipesan/dibutuhkan sesuai janji kesepakatan sebelumnya, maka ia harus bertanggung jawab untuk menggantinya.
Sebagai penghasil produk/jasa haruslah selengkap mungkin menyediakan sarana dan kemampuan yang diperlukan oleh pelanggan. Ini artinya, bahwa penghasil produk/jasa haruslah profesional dan kompeten dengan bidangnya.   Selain itu, sebagai penghasil produk/jasa haruslah memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk   mendapatkan produk/jasa tersebut, baik yang berhubungan dengan waktu, tempat, atau kemudahan menjangkaunya.
Bentuk   pelayanan   hendaknya   juga   bervariasi,   sehingga   banyak   pilihan   bagi pelanggan. Inovasi haruslah digalakkan sehingga banyak temuan untuk menunjang variasi layanan tersebut.
Sedapat  mungkin  pelayanan    bersifat  pribadi  lebih  ditonjolkan,  sehingga  tidak terkesan kaku, fleksibel dan terkesan ada penanganan khusus bagi pelanggan. Kenyamanan pelayanan harus pula diciptakan, misalnya berhubungan dengan   lokasi/ruangan, fasilitas pelayanan yang memadai seperti petunjuk-petunjuk yang mudah dikenali oleh pelanggan, dan  ketersediaian informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan.
Peranan atribut pendudukung seperti lingkungan  yang nyaman, kebersihan   yang standar, ruangan ber AC, ruang tunggu dan lain-lain yang bersifat penunjang sangat diperlukan bagi  suksesnya pelayanan mutu. Oleh karena itu perlu diperhatikan.
Konsep   mutu   sebenarnya   selain   bersifat   absolut   juga   bersifat   relatif   dari pelanggannya.  Mutu yang bersifat absolut menunjuk pada suatu produk/jasa yang standar tertentu, dipatok dengan ukuran tertentu oleh suatu lembaga yang memiliki otonomi untuk itu. Mutu suatu produk/jasa yang bersifat relatif berarti tergantung pada konsumennya/pelanggannya bagaimana mereka menetapkan standar kebutuhan dan harapannya.
Mengapa produk/jasa harus bermutu? Dalam persaingan bebas kita seharusnya berorientasi pada kebutuhan dan harapan konsumen atau pelanggan (customers). Jika produk/layanan hasil kinerja kita tidak bermutu, maka customers akan meninggalkan kita, karena ada alternatif lain yang bisa dipilih oleh mereka. Jika penghasil produk/jasa ingin tetap berlangsung usahanya (dipakai oleh customers), maka ia harus menjaga mutu bahkan meningkatkan mutu produk/jasa layanannya seiring dengan tuntutan kebutuhan dan harapan customers.
Adapun  sifat-sifat  pokok  mutu  jasa,  menurut  Slamet  (1999)  adalah  mengadung unsur-unsur: (1) keterpercayaan (reliability), (2) keterjaminan (assurance), (3) penampilan (tangibility), (4) perhatian (emphaty), dan (5) ketanggapan (responsiveness).
Keterpercayaan dapat dihasilkan dari sikap dan tindakan seperti: jujur, tepat waktu pelayanan,   terjaminnya rasa aman dengan produk/jasa yang dipergunakan/diperoleh, dan ketersediaan produk/jasa saat dibutuhkan pelanggan.
Keterjaminan suatu mutu jasa dapat   ditimbulkan oleh kondisi misalnya penghasil produk/jasa memang kompeten dalam bidangnya, obyektif dalam pelayanannya, tampil dengan percaya diri dan meyakinkan pelanggannya.
Penampilan adalah   sosok dari produk/jasa dan  hasil karyanya. Misalnya bersih, sehat,  teratur  dan  rapi,    enak  dipandang,  serasi,    berpakaian  rapi  dan  harmonis,  dan buatannya baik.
Empati adalah berusaha merasakan apa yang dialami oleh pelanggan (“seandainya saya dia”).  Cara berempati dapat dinyatakan dengan penuh perhatian terhadap pelanggan, melayani dengan ramah dan memuaskan, memahami keinginan  pelanggan, berkomunikasi dengan baik dan benar, dan bersikap penuh simpati.
Adapun  ketanggapan  adalah    ungkapan    cepat  tanggap  dan  perhatian  terhadap keluhan pelanggan. Ungkapan tersebut dapat dinyatakan dengan cepat memberi respon pada permintaan pelanggan dan cepat memperhatikan  dan mengatasi keluhan pelanggan.
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya yang utamanya yaitu kepada mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut.
Para pelanggan layanan pendidikan dapat terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok (Sallis, 1993). Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari  lembaga  tersebut.    Kedua,  para  klien  terkait  dengan  orang  yang  mengirimnya  ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini  kita  sebut  sebagai  pelanggan  sekunder  (secondary    external  customers).  Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja, bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary   external customers).  Selain itu,  yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari  intern  lembaga;  mereka  itu  adalah  para  guru/dosen/tutor  dan  tenaga  administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial (Karsidi, 2000).
Seperti   disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan kebutuhan dan harapan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.
ETOS KERJA DAN PROFESIONALISME GURU
Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki.    Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu: profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil,  dan quasi profesi.
Gilley dan Eggland (1989)   mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini meliputi aspek yaitu :
a.   Ilmu pengetahuan tertentu
b.   Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan c.   Berkaitan dengan kepentingan umum
Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar pengukuran profesi guru.
Proses profesional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional (peningkatan status). Secara teoritis menurut Gilley dan Eggland (1989) pengertian professional dapat didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.
1.   Orientasi Filosofi
Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu pertama lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati karena berkaitan dengan aturan-aturan formal. Pendekatan kedua yang digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi penggunanya. Pendekatan ketiga: electic, yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistim, dan pemikiran akademis. Proses profesionalisasi dianggap merupakan kesatuan dari kemampuan,  hasil    kesepakatan  dan  standar tertentu.  Pendekatan  ini    berpandangan bahwa     pandangan  individu  tidak  akan  lebih  baik  dari  pandangan  kolektif  yang disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya.
2.   Orientasi Perkembangan
Orientasi     perkembangan     menekankan     pada     enam     langkah     pengembangan profesionalisasi, yaitu:
a.   Dimulai  dari  adanya  asosiasi  informal  individu-individu  yang  memiliki  minat terhadap profesi.
b.   Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.
c.   Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
d.   Penyepakatan adanya persyaratan   profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi tertentu.
e.   Penetuan kode etik.
f.          Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi  tertentu (termasuk syarat akademis) dan pengalaman di lapangan.
3.   Orientasi Karakteristik
Profesionalisasi  juga dapat  ditinjau  dari  karakteristik  profesi/pekerjaan.  Ada delapan karakteristik pengembangan profesionalisasi, satu dengan yang lain saling terkait:
a.   Kode etik
b.   Pengetahuan yang terorganisir
c.   Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
d.   Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan e.   Sertifikat keahlian
f.          Proses  tertentu  sebelum  memangku  profesi  untuk  bisa  memangku  tugas  dan tanggung jawab
g.   Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di antara anggota profesi
h.   Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek oleh anggota profesi
4.   Orientasi Non-Tradisional
Perspektif pendekatan yang keempat yaitu prespektif non-tradisonal yang menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan   mampu melihat dan merumuskan  karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya termasuk pentingnya   sertifikasi professional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.
Tentu saja, pekerjaan guru tidak diragukan untuk dapat dikatakan sebagai profesi pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan untuk melakukan pendidikan dan pengajaran” ini masih sering dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja. Inilah tantangan bagi profesi guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan.
Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai  norma  hukum  dan  sekaligus  sebagai  norma  kemasyarakatan.  Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI) sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah  dipandang perlu  sebagai  prasarat  untuk  menjadi  guru  profesional.  Menurut Surya (2003) guru yang profesional harus menguasai keahlian dalam kemampuan materi keilmuan dan ketrampilan metodologi. Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, lembaga dan organisasi profesi. Selain itu, guru juga harus mengembangkan rasa kesejawatan yang tinggi dengan sesama guru. Disinilah   peran Perguruan Tinggi Pendidikan dan organisasi profesi guru (seperti PGRI) sangat penting.  Kerjasama antar keduanya menjadi sangat diperlukan. Lembaga Pendidikan dalam memproduk guru yang profesional  tidak  dapat  berjalan  sendiri,  kecuali  selain  harus  bekerjasama  dengan lembaga profesi guru, dan sebaliknya.
Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi   guru tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi masing-masing.
Orientasi mutu, profesionalisme dan menjunjung tinggi profesi harus mampu menjadi etos kerja guru. Untuk itu maka, kode etik profesi guru harus pula ditegakkan oleh anggotanya dan organisasi profesi guru harus pula dikembangkan kearah memiliki otoritas yang tinggi agar dapat mengawal profesi guru tersebut.
TANTANGAN PROFESI GURU
(1) Perkembangan Teknologi Informasi
Dalam rangka   meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan.
Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu.  Peran  guru  juga  tidak  akan  menjadi  satu-satunya  sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya  (keluarga  dan  masyarakat)  serta  peran  sekolah  tidak  hanya  menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga   yang   banyak   dan   perangkat   lainnya.   Sekolah   harus   bekerja   sama   secara komplementer dengan sumber belajar lain terutama fasilitas internet yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun   kemajuan   teknologi   informasi   di   masa   yang   akan   datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu  dari  fungsi  dan  peranan  sekolah  yang  tidak  dapat  tergantikan,  misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain. Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu. (Karsidi, 2004)
Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang peran profesinya.
Dunia pendidikan harus  menyiapkan seluruh unsur  dalam sistim pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan teknologi informasi yang tepat (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan. Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik  bila  lembaga  pendidikan  mampu  menyikapi  dengan  penuh  keterbukaan  dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
(2) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan  mereka  dalam  kegiatan  pembangunan  dan  melatih  rakyat  untuk  dapat mengatur  urusannya  sendiri.  Ini  artinya,  bahwa  kemauan  berpartisipasi    masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya.
Bergesernya paradigma pembangunan  yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas  kemandirian  mengatasi  masalah  yang  dihadapinya,  baik  secara  individual maupun secara kolektif.
Belajar dari pengalaman   bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan bagi dirinya atau kelompoknya. (Karsidi, 2004)
Desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan masyarakatnya  ikut  menanggung  beban  tersebut.  Tujuannya  adalah:  (1)  mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah.
Kurikulum dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada bagian yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, seperti PKN, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum; (3) Kandungan minimal konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar; (4) Standar- standar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di  lembaga-lembaga pendidikan  lainnya  nonsekolah,  ruang  partisipasi  tersebut  harus dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga  pendidikan  itu  sendiri,  lebih-lebih  pada  pemerintah  sebagai  penyelenggara
negara.
Cara untuk penyaluran  partisipasi  dapat  diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga  pendidikan  itu  berada.  Kondisi  ini  menuntut  kesigapan  para  pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari   pihak masyarakat (termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.
Sebagai contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era otonomi daerah. Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara seperti itu, maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan  akan  menjadi tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat.
PENUTUP
Dalam rangka mencapai mutu yang tinggi dalam bidang pendidikan, peranan guru sangatlah penting bahkan sangat utama. Untuk itu, maka profesionalisme guru harus ditegakkan dengan cara pemenuhan syarat-syarat kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap guru, baik di bidang penguasaan keahlian materi keilmuan maupun metodologi. Guru harus bertanggungjawab atas tugas-tugasnya dan harus mengembangkan kesejawatan dengan sesama guru melalui keikutsertaan dan pengembangan organisasi profesi guru.
Untuk mencapai kondisi guru yang profesional, para guru harus menjadikan orientasi mutu dan profesionalisme guru sebagai etos kerja mereka dan menjadikannya sebagai landasan orientasi berperilaku dalam tugas-tugas profesinya. Karenanya, maka kode etik profesi guru harus dijunjung tinggi.
Dalam perkembangannya, disadari bahwa profesi guru belum dalam posisi yang ideal seperti yang diharapkan, namun harus terus diperjuangkan menuju yang terbaik. Pada saat diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat, dipahami bahwa banyak tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi untuk dapat diselesaikan oleh para guru dan lembaga penyelenggara pendidikan. Tantangan dan peluang tersebut antara lain: berubahnya peran guru dalam manajemen proses belajar mengajar, kurikulum yang terdesentralisasi, pemanfaatan secara optimal sumber-sumber belajar lain dan teknologi informasi, usaha pencapaian layanan mutu pendidikan yang optimal, dan penegakan profesionalisme guru. Para guru mempunyai tantangan untuk dapat beradaptasi dengan sebaik-baiknya dalam situasi transisi, agar dapat memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak positifnya. Menyikapi hal-hal demikian, tidak lain maka para guru haruslah dapat mengembangkan suatu perilaku adaptif agar berhasil mengemban profesinya di era otonomi daerah dan era global ini. Dengan cara demikian, karena guru adalah “soko guru” pendidikan, mudah-mudahan peningkatan mutu pendidikan di era otonomi daerah segera akan tercapai.  Semoga (rk).

DAFTAR RUJUKAN

Gilley,  Jerry  W.  dan  Steven  A.  Eggland,  1989.  Principles  of  Human  Resourches
Development. New York: Addison Wesley Pub. Company. Inc.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriyadi (ed). 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Adicipta.
Karsidi, Ravik. 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Bahan Ceramah di
Pondok Assalam, Surakarta 19 Februari.
—–, 2004. Reaktualisasi Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pendidikan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru  Besar dalam Bidang Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.
Sallis, Edward. 1993. Total Quality Management in  Education, Kogam Page, London. Slamet, Margono, 1999. Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu
Terpadu, IPB Bogor.
Surya, Muhammad. 2003. Percikan Perjuangan Guru. Semarang: Aneka Ilmu. Wirakartakusumah, Aman. 1998. Pengertian Mutu Dalam Pendidikan, Lokakarya MMT
IPB, Kampus Dermaga Bogor, 2-6 Maret
Wen, Sayling. 2003. Future of Education (Masa Depan Pendidikan), alih bahasa Arvin
Saputra, Batam: Lucky Publisher.

Sumber: infodiknas
SHARE

Milan Tomic

Hi. I’m Designer of Blog Magic. I’m CEO/Founder of ThemeXpose. I’m Creative Art Director, Web Designer, UI/UX Designer, Interaction Designer, Industrial Designer, Web Developer, Business Enthusiast, StartUp Enthusiast, Speaker, Writer and Photographer. Inspired to make things looks better.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Translate