PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (RME)
Abstrak
Dalam pembelajaran
matematika selama ini, dunia nyata hanya dijadikan tempat mengaplikasikan
konsep. Siswa mengalami kesulitan matematika di kelas. Akibatnya,
siswa kurang menghayati atau memahami konsep-konsep matematika, dan siswa
mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada
matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan
menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran
Matematika Realistik (MR).
Karakteristik
RME adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan
konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment). Berkaitan dengan
hal itu, tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara teoretis pembelajaran
matematika realistik, pengimplementasian pembelajaran MR, serta kaitan antara
pembelajaran MR dengan pengertian. Pembelajaran Matematika Realistik
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan merekonstruksi
konsep-konsep matematika, sehingga siswa mempunyai pengertian kuat tentang
konsep-konsep matematika. Dengan demikian, pembelajaran Matematika
Realistik akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian
siswa.
Kata kunci: matematika realistik, dunia nyata,
rekonstruksi konsep matematika, model-model, interaktif.
1. PENDAHULUAN
Salah
satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat
abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan
dalam matematika. Prestasi matematika siswa baik secara nasional maupun internasional
belum menggembirakan. Third International Mathematics and Science
Study (TIMSS) melaporkan bahwa rata-rata skor matematika siswa tingkat 8
(tingkat II SLTP) Indonesia jauh di bawah rata-rata skor matematika siswa
internasional dan berada pada ranking 34 dari 38 negara (TIMSS,1999).
Rendahnya prestasi matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu
mengalami masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam
matematika.
Selain
itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang
konsep sangat lemah.Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa,
kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam
situasi kehidupan real. Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika
bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru
dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah
dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan
kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan
pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di
kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price,1996;
Zamroni,
2000).
Menurut
Van
de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari
pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat
mengaplikasikan matematika Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran
matematika di kelas ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika
dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu, perlu menerapkan kembali
konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada
bidang lain sangat penting dilakukan. Salah satu pembelajaran matematika
yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of
everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari
adalah pembelajaran Matematika Realistik (MR). Pembelajaran MR
pertama kali dikembangkan dan dilaksanakan di Belanda dan dipandang sangat
berhasil untuk mengembangkan pengertian siswa.
Tulisan
ini bertujuan untuk memaparkan secara teoretis pembelajaran matematika
realistik, pengimplementasian pembelajaran MR, serta kaitan antara pembelajaran
MR dengan pengertian.
2. KAJIAN
TEORI
2.1 Realistic Mathematics Education
(RME)
Realistic
Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan
matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di
Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada
pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan
realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti
matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-
hari. Matematika sebagai aktivitas manusia
berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan
konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994).
Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan
persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan
tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh
siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi
oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali
menggunakan konsep matematisasi.
Dua
jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi
horisontal dan vertikal.
Contoh matematisasi
horisontal adalah
pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang
berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik.
Contoh matematisasi
vertikal adalah representasi
hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik,
penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis
matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi
ini mempunyai nilai sama (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000) .
Berdasarkan
matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika
dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik,
strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan
tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri
(diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan
ini manusia dianggap sebagai mesin. Kedua jenis matematisasi tidak
digunakan.
Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan
dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat
menemukan melalui matematisasi horisontal.
Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan
yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang
perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui
matematisasi vertikal.
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan
yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran.
Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat
menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
2.2 Karakteristik
RME
Karakteristik RME adalah menggunakan: konteks
“dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan
keterkaitan (intertwinment) (Treffers,1991; Van den
Heuvel-Panhuizen,1998).
2.2.1 Menggunakan Konteks “Dunia Nyata”
Gambar berikut
menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus di mana “dunia nyata”
tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk
mengaplikasikan kembali matematika. Gambar 1 Konsep
Matematisasi (De Lange,1987) Dalam RME, pembelajaran diawali dengan
masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan
pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian (inti) dari
konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai
matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan
mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat
mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied
mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep
matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi
pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan
penerapan matematikan dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000)
2.2.2 Menggunakan Model-model
(Matematisasi)
Istilah model berkaitan
dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self
developed models). Peran self developed models merupakan
jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika
informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam
menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat
dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut
akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui
penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for
masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika
formal.
2.2.3 Menggunakan Produksi dan
Konstruksi
Streefland (1991)
menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk
melakukan refleksi pada bagian yang
mereka anggap penting
dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa
prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam
pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan
matematika formal.
2.2.4 Menggunakan Interaktif
Interaksi antarsiswa
dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit
bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju,
tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal
dari bentuk-bentuk informal
siswa.
2.2.5 Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment)
Dalam RME
pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam
pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan
berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika,
biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika,
aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
3.
PEMBAHASAN
3.1 Matematika Realistik
(MR)
Matematika
Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik
awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber
munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.
Pembelajaran MR di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME,
sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep
matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi
kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah
sehari-hari atau masalah dalam bidang lain. Pembelajaran ini sangat
berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi
kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk
memecahkan masalah-masalah.
Karena matematika realistik menggunakan masalah
realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu
diusahakan benar-benar kontektual atau
sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa
dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi
horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan
sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan
melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi
horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep
matematika (pengetahuan matematika formal).
3.2 Pembelajaran Matematika Realistik (MR)
Menurut
Pandangan Konstruktivis Pembelajaran matematika menurut pandangan
konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi
konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui
proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai
fasilitator.
Menurut
Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika
berorientasi pada:
(1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui
proses asimilasi atau akomodasi,
(2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah
siswa dihadapkan kepada apa,
(3) informasi baru harus dikaitkan dengan
pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan,
mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan
(4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa
berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.
Konstruktivis
ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi
suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini
oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan
Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting
dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development
(ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak
antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada
siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan
memberikan
kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding
merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan
masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan
yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial)
disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial
memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi
matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem
posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika,
Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme
sosio (socio-constructivism). Siswa berinteraksi dengan guru,
dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa
mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang
diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai
dengan karakteristik RME.
Konsep ZPD dan Scaffolding
dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran MR disebut dengan
penemuan kembali terbimbing (guided reinvention). Menurut
Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi
kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah.
Perbedaan keduanya adalah pendekatan
konstruktivis sosio merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat umum,
sedangkan pembelajaran MR merupakan pendekatan khusus yaitu hanya dalam
pembelajaran matematika.
3.3 Bagaimana Implementasi Pembelajaran MR?
Untuk
memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran MR, berikut ini diberikan
contoh pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Pecahan di SD
diinterpretasi sebagai bagian dari keseluruhan. Interpretasi ini mengacu
pada pembagian unit ke dalam bagian yang berukuran sama. Dalam hal ini
sebagai kerangka kerja siswa adalah daerah, panjang, dan model volume.
Bagian dari keseluruhan juga dapat diinterpretasi pada ide pempartisian suatu
himpunan dari objek
diskret.
Dalam
pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa
dibawa ke “situasi” informal. Misalnya, pembelajaran pecahan dapat
diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue)
sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep
matematika (pengetahuan matematika formal). Setelah siswa memahami
pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan.
Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan MR) di mana siswa
sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis
pecahan.
Jadi,
pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru
diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri.
Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
3.4 Kaitan antara Pembelajaran MR dengan Pengertian
Kalau
kita perhatikan para guru dalam mengajar matematika senantiasa terlontar kata
“bagaimana, apa mengerti ?” Siswa pun biasanya buru-buru menjawab
mengerti atau sudah. Siswa sering mengeluh seperti berikut, “Pak … pada
saat di kelas saya mengerti penjelasan Bapak, tetapi begitu sampai di rumah
saya lupa”, atau “Pak … pada saat di kelas saya mengerti contoh yang Bapak
berikan , tetapi saya tidak bisa menyelesaikan soal-soal latihan” Apa
yang dialami oleh siswa pada ilustrasi di atas menunjukkan bahwa siswa belum
mengerti atau belum mempunyai pengetahuan konseptual. Siswa yang mengerti
konsep atau mempunyai pengetahuan konseptual dapat menemukan kembali konsep
yang mereka lupakan.
Mitzel (1982) mengatakan
bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman siswa
dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh unjuk
kerja guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan
antara informasi baru dengan jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan
suatu pengertian. Mengembangkan pengertian merupakan tujuan pengajaran
matematika. Karena tanpa pengertian orang tidak dapat mengaplikasikan
prosedur, konsep, ataupun proses.
Dengan
kata lain, matematika dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari
jaringan representasi (Hiebert dan Carpenter , 1992). Umumnya,
sejak anak-anak orang telah mengenal ide matematika. Melalui
pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari mereka mengembangkan ide-ide yang
lebih kompleks, misalnya tentang bilangan, pola, bentuk, data, ukuran
dsb. Anak sebelum sekolah belajar ide matematika secara alamiah. Hal
ini menunjukkan bahwa siswa datang ke sekolah bukanlah dengan kepala “kosong”
yang siap diisi dengan apa saja. Pembelajaran di sekolah akan menjadi
lebih bermakna bila guru mengaitkan dengan apa yang telah diketahui anak.
Pengertian siswa tentang ide matematik dapat dibangun melalui sekolah,
jika mereka secara aktif mengaitkan dengan pengetahuan mereka.
Hanna dan Yackel
(NCTM, 2000) mengatakan bahwa belajar dengan pengertian dapat ditingkatkan
melalui interaksi kelas. Percakapan kelas dan interaksi sosial dapat
digunakan untuk memperkenalkan keterkaitan di antara ide-ide dan
mengorganisasikan pengetahuan
kembali.
Pembelajaran MR memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika
berdasarkan pada masalah realistik yang diberikan oleh guru. Situasi
realistik dalam masalah memungkinkan siswa menggunakan cara-cara informal
untuk menyelesaikan masalah. Cara-cara informal siswa yang merupakan
produksi siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan
pengkonstruksian konsep. Hal ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa
telah dikaitkan dengan skema (jaringan representasi) anak. Melalui
interaksi kelas keterkaitan skema anak akan menjadi lebih kuat sehingga
pengertian siswa tentang konsep yang mereka konstruksi sendiri menjadi kuat.
Dengan demikian, pembelajaran MR akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi
dengan pengertian siswa.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
uraian di atas, maka sebagai simpulan dapat disampaikan beberapa hal sebagai
berikut. Matematika Realistik (MR) merupakan matematika sekolah yang dilaksanakan
dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal
pembelajaran. Pembelajaran MR
menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran, dan melalui
matematisasi horisontal-vertikal siswa diharapkan dapat menemukan dan
merekonstruksi konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika
formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan menerapkan
konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah
dalam bidang lain. Dengan kata lain, pembelajaran MR berorientasi pada
matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience)
dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (everydaying
mathematics), sehingga siswa belajar dengan bermakna
(pengertian).
Pembelajaran
MR berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator,
sehingga memerlukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana siswa belajar,
bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma
pembelajaran matematika selama ini. Karena itu, perubahan persepsi guru
tentang mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran
matematika realistik.
Sesuai
dengan simpulan di atas, maka disarankan: (1) kepada pakar atau pencinta
pendidikan matematika untuk melakukan penelitian-penelitian yang berorientasi
pada pembelajaran MR sehingga diperoleh global theory pembelajaran
MR yang sesuai dengan sosial budaya Indonesia, dan (2) kepada guru-guru
matematika untuk mencoba mengimplementasikan pembelajaran MR secara bertahap,
misalnya mulai dengan memberikan masalah-masalah realistik untuk memotivasi
siswa menyampaikan pendapat.
PUSTAKA ACUAN
Atwel, Bleicher & Cooper.1998. “The
Construction of The Social Contex of Mathematics Clasroom : A Sociolonguistic
Analysis”. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol 29
No.1 January 1998.hal 63-82
Cinzia Bonotto. 2000. Mathematics in and out
of school : is it possible connect these contexts ? Exemplification from an
activity in primary schools. http://www.nku.edu/~sheffield/bonottopbyd.htm
Cobb,Yackel & Wood.1992.”A Constructivist
Alternative to The Representational View of Mind in Mathematics Education”.
Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.23. No.1 January
1992. hal. 2-33 .
Davis. 1996. “One Very Complete View (Though Only One) of How Children Learn Mathematics ” Dalam Journal for Research in Mathematics Education Vol.27. No.1 January 1996. hal. 100-106
Davis. 1996. “One Very Complete View (Though Only One) of How Children Learn Mathematics ” Dalam Journal for Research in Mathematics Education Vol.27. No.1 January 1996. hal. 100-106
De Lange. 1987. Mathematics Insight and
Meaning. OW & OC. Utrecht
Ernest,P. 1991. The Philosopy of Mathematics
Education. London
:
Falmer Press Gravemeijer. 1994. Developing
Realistics Mathematics Education. Freudenthal
Institute. Utrecht.
Hiebert,J & Thomas
Carpenter. 1992. “Learning and Teaching With Understanding” Handbook of Research
on Mathematics Teaching and Learning.
New York : Macmillan
Jennings, Sue & R, Dunne.1999. Math Stories,Real Stories, Real-life Stories. http://www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/actar01.htm.
Jennings, Sue & R, Dunne.1999. Math Stories,Real Stories, Real-life Stories. http://www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/actar01.htm.
Mitzel, H.E. 1982. Encyclopedia of
Educational Research (Fifth Ed). New
York : Macmillan NCTM. 2000. Principles and
Standards for School Mathematics.USA : NCTM Price,J. 1996.
“President’s Report : Bulding Bridges of Mathematical Understanding for All
Children” . Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27.
No.5 November 1996. hal. 603-608
Soedjadi. 2000. “Nuansa Kurikulum Matematika
Sekolah Di Indonesia”.
Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi
Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000)
Slavin,R. 1997. Educational Psychology Theory
and Practice. Fifth Edition.Boston : Allyn and Bacon.
Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic
Mathematics Education in the Indonesian Context”. Dalam Majalah Ilmiah
Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB,
17-20 Juli 2000 Streefland,L. 1991. Realistic Mathematics Education in
Primary School. Freudenthal Institute.
Utrecht.
Utrecht.
Taylor.1993.”Vygotskian Influences in
Mathematics Education With Particular Refrences to Attitude Development”. Dalam
Jurnal Focus on Learning in Mathematics.Vol 15 No. 2 hal.3-17.
TIMSS. 1999. International Student Achievement in Mathematics. http://timss.bc.edu/timss
1999i/pdf/T99i_math_01.pdf
Treffers.1991. “Didactical Background of a
Mathematics Program for Primary Education”. Dalam Realistic Mathematics
Education in Primary School. Freudenthal
Institute. Utrecht.
Van den Heuvel-Panhuizen. 1998. Realistic
Mathematics Education Work in Progress. http://www.fi.nl/ ……2000. Mathematics Education in the Netherlands a Guided Tour. http://www.fi.uu.nl/en/indexpulicaties.html.
Van Reeuwijk, Martin. 1995. The Role of
Realistic Situations in Developing Tools for Solving Systems of Equations. www.fi.uu.nl/en/indexpublicaties/3781.pdf
Wilson, Teslow, Taylor.1993. “Instruction Design Perspectives on Mathematics Education With Refrences to Vygotsky’s Theory of Social Cognition”. Focus on Learning Problem in Mathematics.Vol 15.No 2 &3. hal. 65-84Zamroni. 2000.
Wilson, Teslow, Taylor.1993. “Instruction Design Perspectives on Mathematics Education With Refrences to Vygotsky’s Theory of Social Cognition”. Focus on Learning Problem in Mathematics.Vol 15.No 2 &3. hal. 65-84Zamroni. 2000.
Paradigma
Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf
PublishingI Gusti Putu Suharta, Dosen Jurusan Pendidikan Matematika
IKIP Negeri Singaraja
Sumber: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi
38, Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang – Depdiknas
Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik Setting Kooperatif Materi Aritmetika Sosial Pada Siswa Kelas VII SMP
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Praktek
pembelajaran yang terjadi di sebagian besar sekolah selama ini cenderung pada
pembelajaran berpusat pada guru (teacher oriented). Guru menyampaikan
materi pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara
siswa mencatatnya pada buku catatan. Pengajaran dianggap sebagai proses
penyampaian fakta-fakta kepada siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar
apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali
fakta-fakta tersebut kepada orang lain atau menggunakannya untuk menjawab
soal-soal dalam ujian.
Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika
telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh berbagai pihak yang
peduli terhadap pembelajaran matematika sekolah. Berbagai upaya tersebut antara
lain dalam bentuk: (1) penataran guru, (2) kualifikasi pendidikan guru,
(3) pembaharuan kurikulum, (4) implementasi model atau metode pembelajaran
baru, (5) penelitian tentang kesulitan dan kesalahan siswa dalam belajar
matematika. Namun berbagai upaya tersebut belum mencapai hasil yang optimal,
karena berbagai kendala di lapangan. Akibatnya,
sampai saat ini kualitas pembelajaran matematika di Indonesia masih rendah (Soedjadi,
2001b:1).
Pada umumnya,
masalah pembelajaran matematika tampak dalam penjelasan Soedjadi yang
menyatakan bahwa sudah cukup lama kita semua terbenam dalam pembelajaran
matematika yang bagi banyak orang terasa asing, formal, dan hanya bermain angka
atau simbol yang sulit dan serba tak berarti, bahkan tidak sedikit yang merasa
ketakutan untuk menghadapi pelajaran matematika. Untuk mengatasi masalah
pembelajaran seperti itu, maka diperlukan inovasi di bidang pembelajaran
matematika. Salah satu hasil inovasi di bidang pembelajaran matematika adalah
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
Jenning dan Dunne (dalam Suharta, 2004:1), mengatakan bahwa kebanyakan
siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi
kehidupan real. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa
adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna.
Soedjadi (dalam Suharta, 2004:1)
mengemukakan bahwa agar pembelajaran menjadi bermakna (meaningful)
maka dalam pembelajaran di kelas perlu mengaitkan pengalaman kehidupan nyata
anak dengan ide-ide matematika. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak
mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang
diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide
matematika.
Menurut Van
de Henvel-Panhuizen (dalam Suharta, 2004:1), bila anak belajar
matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat
lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika.
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pembelajaran yang hanya
berorientasi pada pencapaian penguasaan materi berhasil dalam kompetisi
mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan
dalam kehidupan jangka panjang. Ada
kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar
lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika
anak mengalami sendiri apa yang dipelajarinya.
Berdasarkan uraian
di atas, pembelajaran matematika di kelas seyogyanya ditekankan pada
keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak
sehari-hari. Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika yang
telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain.
Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi
pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience)
adalah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) setting kooperatif.
Salah satu materi
matematika yang diajarkan di Kelas VII SMP adalah materi Aritmetika Sosial.
Adapun pertimbangan yang dijadikan dasar dipilihnya materi tersebut sebagai
materi yang diajarkan dalam penelitian ini adalah: (1)
berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa orang guru matematika diperoleh
informasi bahwa materi Aritmetika Sosial masih merupakan materi yang agak sulit
dipahami oleh siswa, (2) banyak permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang
terkait dengan materi ini, dan (3) pada umumnya guru mendominasi sistem belajar
mengajar di kelas, untuk itu diterapkan pembelajaran matematika realistik
setting kooperatif.
Dengan menerapkan
pendekatan realistik setting kooperatif dalam pembelajaran matematika di
sekolah, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan siswa terhadap
materi tersebut, karena pembelajaran matematika realistik setting kooperatif
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan merekonstruksi
konsep-konsep matematika, sehingga siswa memiliki pemahaman yang baik tentang konsep-konsep
matematika tersebut.
Dengan demikian,
pembelajaran matematika realistik setting kooperatif diharapkan memberikan
kontribusi yang besar bagi pemahaman siswa dalam upaya mengajarkan Aritmetika
Sosial secara bermakna, maka guru matematika dapat menggunakan PMR sebagai
salah satu pilihan. Namun persoalannya adalah bagaimanakah menerapkan PMR
setting kooperatif dalam mengajarkan topik Aritmetika Sosial di Kelas VII SMP.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dipaparkan di atas,
maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “bagaimanakah implementasi
pembelajaran matematika realistik setting kooperatif topik Aritmetika Sosial di
Kelas VII SMP?”
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan contoh implementasi
pembelajaran matematika realistik setting kooperatif untuk topik Aritmetika
Sosial di Kelas VII SMP.
Batasan Istilah
Untuk menghindari perbedaan dalam penafsiran, maka perlu diberikan batasan untuk istilah-istilah di bawah ini:
1. Model
pembelajaran yang dimaksud dalam makalah ini adalah suatu pola yang
digunakan sebagai petunjuk atau pedoman dalam merencanakan pembelajaran
matematika di kelas sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
2. Model
pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya
mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama didalam kelompok-kelompok kecil
untuk membantu satu sama lain dalam belajar.
3. Pembelajaran
Matematika Realistik (PMR) adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang
memiliki 3 prinsip, yaitu: (1) penemuan kembali secara terbimbing dan
matematisasi progresif, (2 ) fenomena didaktik, dan (3) pengembangan model
sendiri oleh siswa. Ketiga prinsip tersebut kemudian dioperasionalkan ke dalam
lima karakteristik, yaitu: (1) menggunakan masalah real sebagai langkah awal,
(2) menggunakan model matematika yang dikembangkan siswa; (3) mempertimbangkan
kontribusi siswa; (4) mengoptimalkan interaksi siswa dengan temannya, siswa
dengan guru dan sarana pendukung lain; dan (5) mempertimbangkan keterkaitan
antar materi pelajaran.
4. Implementasi
PMR dengan setting kooperatif adalah implementasi pembelajaran
dengan penggunaan prinsip dan karakteristik PMR dalam menyusun langkah-langkah
pembelajaran dengan setting kooperatif yang dimuat dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP).
5. Aritmetika
Sosial adalah materi matematika di kelas VII SMP yang
diajarkan dengan implementasi PMR dengan setting kooperatif yang bertujuan agar
siswa mencapai kompetensi dasar “Menggunakan bentuk aljabar dalam pemecahan
masalah Aritmetika Sosial yang sederhana”
Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah
diperolehnya informasi atau masukan tentang pendekatan dan model
pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika khususnya topik
Aritmetika Sosial di Kelas VII SMP.
PEMBAHASAN
Pembelajaran Matematika
Depdiknas (2003) menekankan bahwa dalam mengelola pembelajaran matematika,
siswa dikondisikan untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam
matematika melalui bimbingan guru. Ditegaskan bahwa belajar akan bermakna bagi
siswa apabila mereka aktif dengan berbagai cara untuk mengonstruksi atau
membangun sendiri pengetahuannya. Soedjadi (2003) menyatakan, guru hendaknya
jangan punya anggapan bahwa siswa harus selalu diberi tahu, tetapi harus mulai
percaya bahwa siswa pun memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat muncul
dari dirinya sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa guru perlu memberi waktu
“cukup” kepada siswa untuk mencoba berpikir sendiri, menemukan sendiri dan
berani mengungkapkan pendapat sendiri.
Menurut Slavin
(1997), salah satu prinsip yang paling penting dari psikologi pendidikan adalah
guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa
harus membangun pengetahuan di dalam pikiran mereka sendiri. Guru dapat
memudahkan proses ini, dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa.
Ausubel (Suparno, 2001)
menyatakan bahwa pembelajaran secara bermakna adalah pembelajaran yang lebih
mengutamakan proses terbentuknya suatu konsep daripada menghafalkan konsep yang
sudah jadi. Konsep-konsep dalam matematika tidak diajarkan melalui definisi,
melainkan melalui contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep tertentu
yang sudah terbentuk dalam pikiran siswa. Pembelajaran secara bermakna terjadi
bila siswa mencoba
menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka,
tidak hanya sekedar menghafal.
Berdasarkan
pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran matematika merupakan suatu bentuk kegiatan pembelajaran yang
mengutamakan keterlibatan siswa untuk membangun pengetahuan matematikanya
dengan caranya sendiri. Dalam kegiatan tersebut guru berperan sebagai
fasilitator dan mediator. Sebagai fasilitator, guru menyediakan berbagai sarana
pembelajaran yang memudahkan siswa membangun pengetahuan matematikanya sendiri.
Sebagai mediator, guru menjadi perantara dalam interaksi antar siswa atau
antara siswa dengan ide matematika dan menghindari pemberian pendapatnya sendiri
ketika siswa sedang mengemukakan pendapat.
Pembelajaran
Matematika Realistik (PMR)
Latar belakang
pembelajaran matematika realistik
PMR pada dasarnya
adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk
memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan
matematika secara lebih baik dari pada masa yang lalu. Lebih lanjut Soedjadi
menjelaskan bahwa yang dimaksud realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret
yang dapat dipahami atau diamati peserta didik lewat membayangkan. Sedangkan
yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada
baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta
didik. Lingkungan ini disebut juga kehidupan sehari-hari peserta didik.
Menurut Marpaung
(2001:3), PMR dilandasi oleh pandangan bahwa siswa harus aktif, tidak boleh
pasif. Siswa harus aktif mengkonstruksi sendiri pengetahuan matematika. Siswa
didorong dan diberi kebebasan untuk mengekspresikan jalan pikirannya, menyelesaikan
masalah menurut idenya, mengkomunikasikannya, dan pada saatnya belajar dari
temannya sendiri.
Dari uraian di
atas, jelas bahwa dalam PMR pembelajaran tidak dimulai dari definisi, teorema
atau sifat-sifat kemudian dilanjutkan dengan contoh-contoh, seperti yang selama
ini dilaksanakan di berbagai sekolah. Namun sifat-sifat, definisi dan teorema
itu diharapkan seolah-olah ditemukan kembali oleh siswa melalui penyelesaian
masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran. Jadi dalam PMR siswa
didorong atau ditantang untuk aktif bekerja, bahkan diharapkan dapat
mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya.
Prinsip
pembelajaran matematika realistik
Gravemeijer (1994:90-91), mengemukakan bahwa ada tiga prinsip kunci (utama)
dalam PMR. Ketiga prinsip tersebut dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
# Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided reinvention
and progressive mathematizing)
Prinsip ini menghendaki bahwa, dalam PMR melalui penyelesaian
masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran, dengan bimbingan
dan petunjuk guru yang diberikan secara terbatas, siswa diarahkan sedemikian
rupa sehingga, seakan-akan siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip,
sifat-sifat dan rumus-rumus matematika, sebagaimana ketika konsep, prinsip,
sifat-sifat dan rumus-rumus matematika itu ditemukan.
Prinsip ini mengacu
pada pandangan kontruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat
ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru kepada siswa,
melainkan siswa sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri
pengetahuan itu melalui kegiatan aktif dalam belajar.
# Fenomena yang bersifat mendidik (didactical
phenomenology)
Prinsip ini terkait
dengan suatu gagasan fenomena didaktik, yang menghendaki bahwa di dalam
menentukan suatu materi matematika untuk diajarkan dengan pendekatan PMR,
didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam
aplikasi materi itu yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) untuk
dipertimbangkan pantas tidaknya materi itu digunakan sebagai poin-poin untuk
suatu proses matematisasi secara progresif.
Dari uraian di atas
menunjukkan bahwa prinsip ke-2 PMR ini menekankan pada pentingnya masalah
kontekstual untuk memperkenalkan materi-materi matematika kepada siswa. Hal itu
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kecocokan masalah kontekstual yang
disajikan dengan: (1) materi-materi matematika yang diajarkan dan (2) konsep,
prinsip, rumus dan prosedur matematika yang akan ditemukan kembali oleh siswa
dalam pembelajaran.
# Mengembangkan sendiri model-model (self developed models)
Prinsip ini
berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan matematika informal dengan
pengetahuan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa
diberi kebebasan untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan
masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan
itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai model yang dibangun siswa.
Berbagai model
tersebut pada mulanya mungkin masih mirip atau jelas terkait dengan masalah
kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari re-invention dan
sekaligus menunjukkan bahwa sifat bottom up mulai terjadi. Model-model
tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk yang lebih baik
menuju ke arah pengetahuan matematika formal. Dalam PMR diharapkan terjadi
urutan belajar yang bottom up, dengan urutan:
“dari situasi nyata” – “model dari situasi itu”-“model ke arah
formal”
“pengetahuan formal” (Soedjadi, 2001 b: 4).
Karakteristik
pembelajaran matematika realistik
Sebagai
operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, menurut Freudenthal (dalam
Gravemeijer, 1994:114-115), PMR memiliki lima karakteristik, diuraikan sebagai berikut:
- Menggunakan masalah kontekstual (the use of context). Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya dan pengetahuan awal yang dimilikinya secara langsung, tidak dimulai dari sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai materi awal dalam pembelajaran harus sesuai dengan realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan. Menurut Treffers dan Goffree (dalam Suherman, dkk., 2003:149-150), masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu: (1) untuk membantu siswa dalam pembentukan konsep matematika, (2) untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika, (3) untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber dan domain aplikasi matematika dan (4) untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata (realitas). Realitas yang dimaksud di sini sama dengan kontekstual.
- Menggunakan instrumen vertikal seperti model, skema, diagram dan simbol-simbol (use models, bridging by vertical instrument). Istilah model berkaitan dengan situasi dan model matematika yang dibangun sendiri oleh siswa (self developed models), yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi informal ke formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang merupakan keterkaitan antara model situasi dunia nyata yang relevan dengan lingkungan siswa ke dalam model matematika. Sehingga dari proses matematisasi horizontal dapat menuju ke matematisasi vertikal.
- Menggunakan kontribusi siswa (student contribution). Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkontruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.
1. Proses
pembelajaran yang interaktif (interactivity). Mengoptimalkan proses
belajar mengajar melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru dan siswa
dengan sarana dan prasarana merupakan hal penting
2. dalam
PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan, pembenaran,
persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk
pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika
informal yang ditemukan sendiri oleh siswa. Guru harus memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka melalui proses belajar yang
interaktif.
3. Terkait
dengan topik lainnya (intertwining). Berbagai struktur dan konsep
dalam matematika saling berkaitan, sehingga keterkaitan atau pengintegrasian
antar topik atau materi pelajaran perlu dieksplorasi untuk mendukung agar
pembelajaran lebih bermakna. Oleh karena itu dalam PMR pengintegrasian
unit-unit pelajaran matematika merupakan hal yang esensial (penting). Dengan
pengintegrasian itu akan memudahkan siswa untuk memecahkan masalah. Di samping
itu dengan pengintegrasian dalam pembelajaran, waktu pembelajaran
menjadi
lebih efisien. Hal ini dapat terlihat melalui masalah kontekstual yang
diberikan.
Langkah-langkah pembelajaran matematika realistik
Fauzi (2002:) mengemukakan langkah-langkah di dalam proses pembelajaran
matematika dengan pendekatan PMR, sebagai berikut:
- Langkah pertama: memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
- Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
- Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
- Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
- Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur
Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika realistik
juga diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu dapat diwujudkan dengan
cara (1) mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses belajar mengajar, dan
(2) mengoptimalkan keikutsertaan seluruh sense peserta didik. Salah satu
kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat menemukan
atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan
dikuasainya. Salah satu upaya guru untuk merealisasikan pernyataan
di atas adalah menetapkan langkah-langkah pembelajaran yang sesuai dengan
prinsip dan karakteristik PMR.
Berdasarkan prinsip
dan karakteristik PMR serta memperhatikan berbagai pendapat tentang proses
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR di atas, maka disusun
langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR sebagai berikut:
Langkah 1. Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan
masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari
siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah yang diberikan tersebut.
Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk
seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa.
Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik
pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam
pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.
Langkah 2. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa
mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek
matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi
pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan
caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga
dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang
lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas,
sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut.
Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua
menggunakan model.
Langkah 3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan
waktu dan kesempatan pada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban
mereka secara berkelompok, selanjutnya membandingkan dan mendiskusikan
pada diskusi kelas. Pada tahap ini, dapat digunakan siswa untuk berani
mengemukakan pendapatnya meskipun pendapat tersebut berbeda dengan lainnya.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam
langkah ini adalah karakteristik ketiga yaitu menggunakan kontribusi
siswa (students constribution) dan karakteristik keempat yaitu
terdapat interaksi (interactivity) antara siswa dengan siswa lainnya.
Langkah 4. Menyimpulkan
Berdasarkan hasil
diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa untuk menarik kesimpulan
suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan masalah realistik yang
diselesaikan.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam
langkah ini adalah adanya interaksi (interactivity) antara siswa
dengan guru (pembimbing).
Ciri PMR
Fauzan (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran yang menggunakan PMR
memiliki beberapa ciri, yaitu:
- Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari (contextual problem) merupakan bagian yang esensial.
- Belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (doing mathematics).
- Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika di bawah bimbingan orang dewasa (guru).
- Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di kelas.
- Aktivitas yang dilakukan meliputi: menemukan masalah-masalah kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter).
Kelebihan dan kesulitan implementasi PMR
Sebagaimana setiap
pendekatan, strategi maupun metode pembelajaran, di satu sisi memiliki berbagai
kelebihan, namun juga memiliki kesulitan. Demikian halnya dengan PMR.
# Kelebihan pembelajaran matematika realistik
Menurut Suwarsono
(2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran matematika
realistik, yaitu:
- Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.
- Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
- Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.
- Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan
- berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
# Kesulitan dalam implementasi pembelajaran matematika realistik
Adanya
persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan PMR dapat muncul justru
menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan
tersebut, yaitu:
- Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya PMR.
- Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
- Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
- Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
Walaupun pada
pendekatan PMR memiliki kesulitan-kesulitan dalam upaya implementasinya, namun
penulis optimis bahwa kendala-kendala tersebut hanya bersifat sementara. Hal
ini sangat tergantung dari upaya dan kemauan yang sungguh-sungguh dari guru,
serta respons siswa untuk menerapkannya pada kegiatan belajar mengajar di
kelas, kiranya berbagai kesulitan tersebut lambat laun dapat diatasi.
Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran
kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya mengkondisikan para siswa
bekerja bersama-sama didalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama
lain dalam belajar. Menggunakan model pembelajaran kooperatif mengubah peran
guru dari peran yang berpusat pada gurunya ke pengelolaan siswa dalam
kelompok-kelompok kecil. Menurut teori konstruktivis, tugas guru
(pendidik) adalah memfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi)
pengetahuan pada diri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal.
Sebagai contoh, jika seorang siswa membuat suatu kesalahan dalam mengerjakan
sebuah soal, maka guru tidak langsung memberitahukan di mana letak
kesalahannya. Sebaiknya guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk menuntun
siswa supaya pada akhirnya siswa menemukan sendiri letak kesalahan tersebut
(Suwarsono, 2002:37). Sebagai tambahan, belajar kooperatif menekankan pada
tujuan dan kesuksesan kelompok, yang hanya dapat dicapai jika semua anggota
kelompok mencapai tujuan atau penguasaan materi (Slavin, 1995:5).
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran dengan
pendekatan konstruktivis, siswa mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri secara aktif melalui tugas-tugas atau masalah
yang diajukan oleh guru. Siswa menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan
masalah tersebut berdasarkan pengetahuan yang telah mereka miliki kemudian
mendiskusikannya dalam kelompok kooperatif.
Belajar kooperatif
dapat berbeda dalam banyak cara, tetapi dapat dikategorikan sesuai dengan sifat
berikut (1) tujuan kelompok, (2) tanggung jawab individual, (3) kesempatan yang
sama untuk sukses, (4) kompetisi kelompok, (5) spesialisasi tugas, dan
(6) adaptasi untuk kebutuhan individu (Slavin, 1995: 12-13). Hal ini bermanfaat
untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda
latar belakangnya.
Ciri pembelajaran kooperatif
Menurut Ibrahim
(2005:2), ciri dari pembelajaran kooperatif ditandai dengan adanya:
- Struktur tugas. Struktur tugas mengacu kepada dua hal yaitu pada cara pembelajaran itu diorganisasikan dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh siswa di dalam kelas. Hal ini berlaku pada pengajaran klasikal maupun dengan pengajaran kelompok belajar kecil.
- Struktur tujuan. Struktur tujuan suatu pelajaran adalah jumlah saling ketergantungan yang dibutuhkan siswa pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. Terdapat tiga macam struktur tujuan yang telah berhasil diidentifikasi. Struktur tujuan disebut individualistik jika pencapaian
- tujuan itu tidak memerlukan interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung pada baik buruknya pencapaian orang lain. Struktur tujuan kompetitif terjadi bila seorang siswa dapat mencapai suatu tujuan jika dan hanya jika siswa lain tidak mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian setiap usaha yang dilakukan setiap individu untuk mencapai tujuan merupakan saingan bagi individu lainnya. Struktur tujuan kooperatif terjadi jika siswa dapat mencapai tujuan mereka hanya jika siswa lain dengan siapa mereka bekerja sama mencapai tujuan tersebut. Tiap-tiap individu mempunyai andil menyumbang pencapaian tujuan itu.
- Struktur penghargaan (Reward). Struktur penghargaan terhadap berbagai model pembelajaran juga bervariasi. Seperti halnya dengan struktur tujuan yang dapat diklasifikasi menjadi individualistik, kompetitif, dan kooperatif, begitu pula halnya dengan struktur penghargaan.
Struktur
penghargaan individualistik terjadi jika suatu penghargaan itu bisa dicapai
oleh siswa manapun tidak bergantung pada pencapaian individu lain. Struktur
penghargaan kompetitif terjadi bila penghargaan diperoleh sebagai upaya
individu melalui persaingan dengan orang lain. Struktur penghargaan kooperatif
terjadi jika situasi dimana upaya individu membantu individu lain mendapat
penghargaan
Tujuan pembelajaran kooperatif
Ibrahim (2005:7) mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif
dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting,
yaitu:
- Hasil belajar akademik. Pembelajaran kooperatif juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Disamping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun siswa kelompok atas yang bekerjasama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah, jadi siswa kelompok bawah ini memperoleh bantuan khusus dari teman sebaya, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Dalam proses tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor
- membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat dalam materi tertentu.
- Penerimaan terhadap individu. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain.
- Pengembangan keterampilan sosial. Keterampilan bekerjasama dan kolaborasi amat penting untuk dimiliki dalam masyarakat di mana banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan dimana masyarakat secara budaya semakin beragam.
PENUTUP
Kesimpulan
Implementasi PMR setting kooperatif untuk mengajarkan materi
Aritmetika Sosial dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut.
- Penyajian masalah “Pedagang Buah” dan “Sepeda Motor”. Siswa diminta untuk memahami masalah-masalah tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing kelompok bekerja dan belajar).
- Secara individu siswa memecahkan kedua masalah menurut cara sendiri. Selanjutnya untuk membimbing siswa mengonstruksi pengertian harga jual, harga beli, untung, dan rugi, maka siswa memecahkan masalah-masalah tersebut dengan tuntunan LKS (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing kelompok bekerja dan belajar).
- Dengan komunikasi interaktif, guru mengarahkan siswa untuk mencermati keterkaitan antara “harga beli dan harga jual” dengan “untung dan rugi”. Melalui pengarahan tersebut diharapkan siswa dapat menyimpulkan bahwa “cara menentukan besar keuntungan adalah harga jual – harga beli, sedangkan cara menentukan besar kerugian adalah harga beli - harga jual” (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing kelompok bekerja dan belajar dan masih dilakukan pada fase 5 yaitu evaluasi).
- Guru bersama siswa merumuskan pengertian harga jual, harga beli dan cara menentukan besar keuntungan dan kerugian (fase 5 pembelajaran kooperatif, evaluasi).
Saran
Berdasarkan
kesimpulan diatas, maka diharapkan kepada para guru matematika SMP dapat
menerapkan pembelajaran matematika realistik setting kooperatif materi
Aritmetika Sosial pada Siswa Kelas VII SMP. Dalam permasalahan yang dihadapi
siswa dalam kegiatan pembelajaran sebaiknya dicermati dengan seksama oleh guru
yang bersangkutan dari sudut pandang berbagai aspek, misalnya pengetahuan prasyarat,
pengalaman mengajar sebelumnya, dan perangkat pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Matematika, Jakarta : Depdiknas
Fauzan, Ahmad. 2001. Pengembangan dan Implementasi Prototipe I
& II Perangkat Pembelajaran geometri untuk Siswa Kelas 4 SD Menggunakan
Pendekatan Realistik. Makalah disajiakan dalam seminar nasional RME di
Jurusan Matematika FMIPA UNESA.
Fauzi, Amin. 2002. “Pembelajaran Matematika Realistik pada Pokok
Bahasan Pembagian di SD.” Tesis tidak diterbitkan. Surabaya:
PPs Universitas Negeri Surabaya.
Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics
Education. Utrecht:
Freudenthal Institute.
Ibrahim, Muslimin dkk. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Pusat Sains dan
Matematika Sekolah Universitas Negeri Surabaya.
Marpaung, Y. 2001a. Prospek RME untuk Pembelajaran Matematika di
Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistic
Mathematic Education di FMIPA UNESA.
Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning, second edition. Allyn
& Bacon: Massachusets.
. (1997). Educational Psychology-Theory and Practice.
Fifth Edition. Boston
: Allyn and Bacon.
Soedjadi, R. 2001b. Pembelajaran Matematika
Realistik: pengenalan awal dan praktis. Makalah disampaikan pada seminar
Nasional di FMIPA UNESA.
Suharta, I Gusti Putu. 2004. Matematika Realistic: Apa dan
Bagaimana?. Diakses: 10 Juni 2008.
Suparno, P. 2001. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Kanisius.
Suwarsono, St. 2001. Beberapa
Permasalahan yang Terkait dengan Upaya Implementasi Pendekatan Matematika
Realistik di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang
Pendekatan Matematika Realistik Universitas Sanata Dharma tanggal 14 – 15
Nopember 2001.
. 2002. Teori-teori Perkembangan kognitif dan Proses
pembelajaran yang Relevan untuk Pembelajaran Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
0 komentar:
Posting Komentar