Mahasiswa Sunni Indonesia di Iran, Betul Kami Didoktrin

Mahasiswa Sunni Indonesi
di Iran Didoktrin Syiah
“Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” Ustadz Irfan Hilmi, Lc dalam acara bedah buku, yang dilangsungkan secara diam-diam
di Bogor, menyatakan, “Ribuan santri Indonesia yang dikirim ke Iran
kerjanya hanya makan, minum, dan tidur. Mereka tidak belajar, melainkan
hanya dicuci otak. Sepulang dari sana, mereka menyebarkan paham Syiah
dan akan menjadi bom waktu karena bermaksud mendirikan Negara Syiah (di
Indonesia).”
Sebagai upaya tabayun, LI berusaha mencari data valid. Pertama, benarkah ada ribuan santri Indonesia di Iran? Menurut Ketua Himpunan Pelajar Indonesia di Iran, Ali Shahab, jumlah pelajar hauzah (pesantren, namun sistem pendidikannya setingkat univesitas, mungkin lebih tepat disebut IAIN-nya Iran) Indonesia saat ini
158 orang, sementara pelajar di universitas umum ada 12 orang. Di
tahun-tahun sebelumnya pun, jumlah pelajar Indonesia di Iran memang
berkisar di angka 100-200 orang saja. Bahkan dulu pernah hanya di bawah
sepuluh orang.
Kedua, benarkah mahasiswa-mahasiswa Indonesia hanya
makan, tidur, dan dicuci otaknya? Bila ditanyakan kepada mahasiswa
bermazhab Syiah, sudah dipastikan mereka akan menolak keras. Karena itu
Liputan Islam mewawancarai mahasiswa Indonesia di Iran penganut mazhab
Syafii. Namanya Syarief Hiedayat. Berikut catatan wawancara kami:

LI: Di Indonesia sering beredar kabar bahwa kaum muslimin yang bermazhab Sunni sering dianiaya, ditindas, tidak boleh beribadah hingga dibantai. Benarkah demikian adanya?
SH: Saya akan menjawab sesuai yang saya lihat dan
rasakan. Untuk yang saya ketahui dan saya tanyakan kepada masyarakat
Iran yang bermazhab Sunni, nampaknya kabar bahwa kaum Sunni tertindas
dan dibunuh dan tidak boleh beribadah hanyalah kabar bohong. Mereka
ikhlas dan ridho berada di Iran, bahkan mereka selalu bilang bahwa
mereka selalu siap mempertahankan revolusi Iran. Mereka juga selalu
mempertahankan persatuan Sunni dan Syiah di Iran.
LI: Sudah berapa lama akhi belajar dan menetap di Iran?
SH: Sudah tiga tahun lamanya. Saya belajar di
Jami’atul Musthafa Gorgan yang kebanyakan mahasiswanya bermazhab Sunni.
Madrasah ini dinamakan Madrasah Taqribi Baina Mazahib, Tidak bisa juga
kalau dikatakan Pesantren Sunni, karena ada juga santri yang berrmazhab
Syiah, makanya lebih tepat disebut Madrasah Taqribi Baina Mazahib
(pesantren pendekatan antar mazhab). Jadi kurang lebih pesantren
tersebut adalah upaya dari pemerintah Iran untuk mengeratkan persatuan
umat.
LI: Bagaimana dengan kurikulum di pesantren tersebut? Juga para pengajarnya? Apakah mempelajari kedua mazhab?

SH: Iya tepat sekali. Setiap mata kuliah sudah
dibentuk dalam sebuah diktat yang benar-benar pendekatan, misalnya mata
kuliah aqidah setiap masalah aqidah dibahas menurut berbagai mazhab;
penyampaiannya pun dengan sangat menghargai mazhab atau tidak
merendahkan satu mazhab tertentu. Pengajarnya ada yang bermazhab Syiah
dan ada juga yang bermazhab Sunni. Kami mempelajari berbagai mazhab di
sini. Dan madrasah ini ternyata mampu membuktikan bahwa Sunni dan Syiah
bisa bersatu.
LI: Jurusan apa yang akhi ambil di sana, bahasa pengantar sehari-hari apa?Adakah mahasiswa Indonesia lainnya di pesantren tersebut?
SH: Saya belum ambil jurusan. Harus lewati 80 SKS dulu, baru bisa ambil jurusan. Bahasa yang digunakan bahasa Persia, dan saat ini, saya satu-satunya mahasiswa Indonesia yang belajar di pesantren ini.
LI: Normalnya perlu waktu berapa lama buat merampungkan 80 SKS?
SH: Kurang lebih perlu 4 semester

LI: Akhi lulusan pesantren/ sekolah umum?
SH: Saya lulusan Pesantren Daarul Uluum 2 Bogor, Jawa Barat.
LI: Jujur saja kami heran, mengapa akhi memilih
Iran sebagai tempat untuk melanjutkan studi. Umumnya, bagi penganut
mazhab Sunni, mereka akan memilih belajar di Mesir, Suriah, atau Arab Saudi.
SH: Kenapa saya memilih Iran, ada alasan tentunya.
Mungkin dulu jika saja ada kesempatan untuk kuliah di Mesir, saya akan
memilih Mesir. Namun kesempatan itu ternyata adanya di Iran. Saya bukan
orang yang mampu, makanya yang ada dipikiran saya adalah saya tidak
boleh berhenti belajar.
Pendaftaran beasiswa ini ditawarkan kepada saya oleh Mudir (direktur)
pesantren saya (di Indonesia), dan saya langsung menyetujuinya. Saat
itu saya belum tahu kalau Iran adalah negara berpenduduk mayoritas Syiah, setelah saya test untuk mendaftar beasiswa itu, baru saya mengetahuinya.
Ternyata pilihan saya ke Iran adalah pilihan yang tepat. Saya bisa
mempelajari 2 mazhab besar dalam Islam secara moderat yang mungkin tidak
akan saya dapatkan jika saya meneruskan kuliah di Madinah, Makkah, Mesir atau lainnya.

LI: Apakah pihak Pesantren Daarul Uluum 2 telah
mengetahui bahwa Iran adalah negara dengan mayoritas Syiah dan mereka
tidak ragu untuk menawarkan beasiswa kepada akhi untuk meneruskan studi
di Iran?
SH: Iya, pihak pesantren sudah mengetahuinya. Kyai saya sangat mengenal mazhab Syiah. Beliau, Alhamdulillah bersikap moderat.
LI: Apakah mendapatkan perlakuan diskriminatif dari penduduk di sana karena “berbeda?”
SH: Pada awalnya saya 3 bulan tinggal di Qom,
tinggal di Madrasah al-Mahdi untuk mempelajari bahasa Persia. Di sana,
saya dan teman saya yang bermazhab Sunni masih kurang mendapatkan
kebebasan dalam beribadah sesuai mazhab, kami dulu dipaksa untuk shalat
berjamaah dengan cara shalat Syiah. Kami tidak bisa menerima ini. Lalu
kami pindah ke Gorgan.
LI: seperti apa sholat berjamaah cara Syiah ini?

SH: Orang Syiah kan
sholatnya dijamak. Misalnya, setelah sholat Zuhur, dilanjutkan dengan
sholat Ashar. Kami tidak ikut sholat Ashar. Lalu disuruh ikut sholat
Ashar oleh pihak madrasah. Kami juga sholat bersedekap, lalu disuruh
agar tidak bersedekap.
LI: Apakah aturan shalat yang harus ala Syiah merupakan peraturan resmi dari pemerintah atau merupakan kebijakan oknum?
SH: Mereka (pihak Madrasah Al Mahdi) mengungkapkan
alasannya adalah untuk menyeragamkan sholat berjamaah biar terlihat
indah. Namun, menurut saya itu tidak benar. Toh sekarang kami di sini
(Madrasah Gorgan) shalat berjamaah dengan cara mazhab masing-masing bisa
terlihat indah dan seragam dengan saling
menghormati yang lainnya. Ada yang shalat dengan cara mazhab Hanafi,
Jafari, Syafii, dan Maliki. Persatuan Islam sungguh terasa sekali. Ini
lebih baik daripada harus menyeragamkan cara shalat.

Saya kurang tahu dari mana asalnya aturan di Madrasah al-Mahdi itu.
Tapi di masjid-masjid Iran lainnya, saya tetap shalat dengan cara mazhab
Syafii dan tidak ada halangan sama sekali. Saya tidak pernah mendapat
gangguan apapun yang dikarenakan cara shalat saya. Bahkan terkadang saya
bermakmum kepada mereka dan mereka bermakmum kepada saya.
LI: Akhi pernah ikut shalat Jum’at dengan
penduduk yang bermazhab Syiah? Yang menurut informasi hanya
diselenggarakan di satu tempat dalam sebuah kota? Atau membentuk jamaah
sendiri?
SH: Iya, di Iran, shalat Jum’at satu kota hanya
dilangsungkan di satu tempat, ini sebenarnya pendapat Mazhab Ja’fari dan
mazhab Syafii. Saya pernah shalat Jum’at bersama muslim Syiah. Namun
juga sering membuat jamaah sendiri di pesantren.
LI: Akhi pernah berjumpa dengan Rahbar?

SH: Belum pernah. Cuma pernah melihat ceramahnya waktu di Mashad, kalau berjumpa langsung belum pernah.
LI: Walau belum pernah berjumpa, bagaimana kesan akhi terhadap beliau?
SH: Saya kadang takjub. Sebagaimana yang lainnya,
saya sangat menyukai beliau. Dari segala tuturnya sebagai pimpinan
tertinggi cukup untuk dijadikan uswah buat umat. Seorang ulama ternyata
mampu memimpin sebuah bangsa yang yang terus-menerus mengalami
perkembangan.
LI: Lalu bagaimana pandangan akhi terhadap
sistem pemerintahan di Iran yang kekuasaan tertinggi ada di tangan
seorang ulama, tidak seperti negara kebanyakan yang menganut system
sekuler – memisahkan antara pemerintahan dengan keagamaan?
SH: Jujur saya lebih menyukai model pemerintahan di Iran.

LI: Pernah ada tuduhan seperti ini: pelajar Indonesia yang ke Iran kerjanya hanya makan, tidur dan dicuci otak, benar demikian?
SH: Yah makan dan tidur kan memang kegiatan
sehari-hari, hanya saja tujuan kami di sini adalah belajar; jadi
seharusnya belajar juga dimasukkan tuh ke dalam tuduhan tersebut. 

Kalau dicuci otak, bagus dong. Otak kita jadinya bersih, hehehe. 

LI: Di Indonesia, ada seorang ustadz yang
menyatakan bahwa pemerintah Iran memberi beasiswa kepada orang-orang
Indonesia untuk belajar di Iran, lalu di sana mereka cuma makan dan
tidur, tidak belajar, hanya didoktrin, lalu kembali ke Indonesia untuk
mendirikan negara Syiah Indonesia. Bagaimana dengan tudingan ini?
SH: Wah wah wah, siapa nama ustadnya yang berkata
demikian? Memang kami di sini diberikan fasilitas yang luar biasa. Dan
tentunya harus dikembalikan lagi kepada pribadi masing-masing orang,
bagaimana dia menggunakan fasilitas ini? Mau digunakan untuk belajar?
Atau hanya digunakan untuk bersenang-senang?

Benar bahwa saya didoktrin di sini: didoktrin untuk saling menghargai sesama muslim baik Sunni maupun Syiah. :D
LI: Namanya Ustadz Irfan Hilmi. Di tempat akhi menuntut ilmu, dari mana saja para siswanya berasal?
SH: Yang belajar di sini adalah para pelajar lintas
negara dan benua. Ada yang dari Tajikistan, Afganistan, Kirgizystan,
Uzbekistan, China, Pantai Gading, Ethiopia, Somalia, Qomor, Tunisia dan
Mali.
LI: Baik, terimakasih banyak atas kesediaan akhi
kami wawancarai. Semoga hasil wawancara ini bermanfaat bagi terjalinnya
ukhuwah di Indonesia.
SH: Sama-sama, aamiin.....! (beritaonline.co.id)
0 komentar:
Posting Komentar